Para Perusak Da’wah
بسم الله الرحمن الرحيم
الحمد
لله و الصلاة و السلام على أشرف الأنبياء و المرسلين محمّد بن عبدالله الصادق
الأمين و أشهد أن لا إله إلاّ الله وحده لا شريك له و أشهد أن مجمّدا عبده و
رسوله,
Berkata Alloh
ta’ala:
وَيَوْمَ يَعَضُّ الظَّالِمُ عَلَى يَدَيْهِ يَقُولُ
يَا لَيْتَنِي اتَّخَذْتُ مَعَ الرَّسُولِ سَبِيلا (٢٧)يَا وَيْلَتَى لَيْتَنِي
لَمْ أَتَّخِذْ فُلانًا خَلِيلا (٢٨)
“Dan (ingatlah) hari (ketika itu) orang yang zalim
menggigit dua tangannya, seraya berkata: "Aduhai kiranya (dulu) aku
mengambil jalan bersama-sama Rasul. kecelakaan besarlah bagiku; kiranya aku
(dulu) tidak menjadikan sifulan itu teman akrab(ku).”” (Al:Furqoon: 27-28)
الَّذِينَ اتَّخَذُوا دِينَهُمْ لَهْوًا وَلَعِبًا
وَغَرَّتْهُمُ الْحَيَاةُ الدُّنْيَا فَالْيَوْمَ نَنْسَاهُمْ كَمَا نَسُوا لِقَاءَ
يَوْمِهِمْ هَذَا وَمَا كَانُوا بِآيَاتِنَا يَجْحَدُونَ (٥١)
“(yaitu)
orang-orang yang menjadikan agama mereka sebagai main-main dan senda gurau, dan
kehidupan dunia telah menipu mereka." Maka pada hari (kiamat) ini, Kami
melupakan mereka sebagaimana mereka melupakan Pertemuan mereka dengan hari ini,
dan (sebagaimana) mereka selalu mengingkari ayat-ayat kami.” (Al-A’roof: 51)
لَوْ خَرَجُوا فِيكُمْ مَا زَادُوكُمْ إِلا خَبَالا
وَلأوْضَعُوا خِلالَكُمْ يَبْغُونَكُمُ الْفِتْنَةَ وَفِيكُمْ سَمَّاعُونَ لَهُمْ وَاللَّهُ
عَلِيمٌ بِالظَّالِمِينَ (٤٧)لَقَدِ ابْتَغَوُا الْفِتْنَةَ مِنْ قَبْلُ وَقَلَّبُوا
لَكَ الأمُورَ حَتَّى جَاءَ الْحَقُّ وَظَهَرَ أَمْرُ اللَّهِ وَهُمْ كَارِهُونَ
(٤٨)
“jika
mereka berangkat bersama-sama kamu, niscaya mereka tidak menambah kamu selain
dari kerusakan belaka, dan tentu mereka akan bergegas maju ke muka di
celah-celah barisanmu, untuk Mengadakan kekacauan di antara kamu; sedang di
antara kamu ada orang-orang yang Amat suka mendengarkan Perkataan mereka. dan
Allah mengetahui orang-orang yang zalim. Sesungguhnya
dari dahulupun mereka telah mencari-cari kekacauan dan mereka mengatur pelbagai
macam tipu daya untuk (merusakkan)mu, hingga datanglah kebenaran (pertolongan
Allah) dan menanglah agama Allah, Padahal mereka tidak menyukainya.” (Attaubah:
47-48)
‘Amma ba’d
Jika ditanyakan
kepadamu siapakah para perusak da’wah utamanya di Indonesia? Maka katakanlah,
Para perusak da’wah diantaranya,
1. Pelaku
ikhtilath di kampus yang ikut terjun berda’wah
Ketahuilah
semoga Alloh merahmatimu, diantara perusak da’wah adalah pelaku (mahasiswa dan
dosen) yang melakukan kuliah[1] ikhtilath yang terjun
dalam da’wah, mereka mengatasnamakan da’wah di dalam kampus dan diluarnya
mereka dengan sadar atau tanpa sadar memberikan pengaruh yang merusak dalam da’wah
salafiyah.
Sungguh tempat
kuliah ikhtilath merupakan tempat diantara tempat-tempat yang rusak dan juga
tempat yang paling besar dalam menanamkan pemikiran hizbyyah sebab system
pendidikan seperti ini membawa seseorang untuk fanatik hizby, fanatik kepada
kampus dan fakultasnya, dan juga system kelas-kelas merupakan system yang
diadopsi dari negara-negara kafir, ini ma’ruf mempengaruhi pemikiran
orang-orang yang belajar di dalamnya dan juga secara tidak langsung mendidik
seseorang untuk berwala’ dan baro’ yang sempit dan ini kenyataan yang terjadi.
Kampus-kampus
sekuler merupakan tempat ikhtilath dan juga diajarkan padanya
pemikiran-pemikiran dari berbagai aliran sesat dan perkumpulan-perkumpulan
(komunitas) hizbyyah yang merebak tanpa halangan, di dalamnya juga banyak
wanita berpakaian tapi telanjang, juga ujung dari tempat tersebut adalah
gelar-gelar dunia yang rendah dan hina. Dan mahasiswa ikhtilath yang berda’wah
di dalam kampus itu merusak, walaupun dia mengaku salafy sebab jika seseorang mengaku
sebagai salafy maka wajib baginya untuk mengikuti jalannya salafussholeh sesuai
maksimal kemampuannya, dalam seluruh keadaannya, baik itu ibadah, muamalah,
da’wah, dan juga thoriqoh da’wah yaitu berda’wah sesuai syari’at dan
meninggalkan larangan, meninggalkan ikhtilath dan meninggalkan tempat
orang-orang sekuler, dan meninggalkan tasyabbuh (menyerupai orang kafir).
Alloh ta’ala
berkata,
وَقَدْ نَزَّلَ عَلَيْكُمْ فِي الْكِتَابِ أَنْ
إِذَا سَمِعْتُمْ آيَاتِ اللَّهِ يُكْفَرُ بِهَا وَيُسْتَهْزَأُ بِهَا فَلا تَقْعُدُوا
مَعَهُمْ حَتَّى يَخُوضُوا فِي حَدِيثٍ غَيْرِهِ إِنَّكُمْ إِذًا مِثْلُهُمْ إِنَّ
اللَّهَ جَامِعُ الْمُنَافِقِينَ وَالْكَافِرِينَ فِي جَهَنَّمَ جَمِيعًا (١٤٠)
“Dan
sungguh Allah telah menurunkan kekuatan kepada kamu di dalam Al Quran bahwa
apabila kamu mendengar ayat-ayat Allah diingkari dan diperolok-olokkan (oleh
orang-orang kafir), Maka janganlah kamu duduk beserta mereka, sehingga mereka
memasuki pembicaraan yang lain. karena Sesungguhnya (kalau kamu berbuat
demikian), tentulah kamu serupa dengan mereka. Sesungguhnya Allah akan
mengumpulkan semua orang-orang munafik dan orang-orang kafir di dalam Jahannam,”
(Annisaa’: 140)
Dan orang yang ikhtilath di
kampus telah melakukan dosa terang-terangan,
Allåh Subhanahu wa ta'ala berfirman:
"Katakanlah kepada orang laki-laki yang
beriman: 'Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan memelihara kemaluannya;
yang demikian itu adalah lebih suci bagi mereka, sesungguhnya Allah Maha
Mengetahui apa yang mereka perbuat.'" [QS. An-Nur:30]
"Dia mengetahui (pandangan) mata yang khianat
dan apa yang disembunyikan oleh hati." [QS. Ghafir:19]
Diriwayatkan oleh Imam at-Thabrani dalam Mu'jamnya
dari Ma'qal bin Yasar radhiallahu 'anhu mengatakan, Rasulullah shallallahu
'alaihi wasallam bersabda :
"Sungguh salah seorang dari kalian ditusuk
jarum dari besi di kepalanya lebih baik baginya daripada menyentuh wanita yang
tidak halal baginya."
Rasulullah shallallahu 'alayhi wa sallam bersabda:
"Tidaklah kutinggalkan setelahku suatu fitnah
yang paling berbahaya bagi laki-laki daripada (fitnahnya) wanita" [HR.
Bukhari 5096 dan Muslim 2740 dari Usamah bin Zaid]
"Sesungguhnya dunia ini manis dan segar. Dan
sesungguhnya Allåh telah menjadikan kalian khalifah di dunia ini maka Ia akan
melihat bagaimana kalian beramal? Berhati-hatilah terhadap dunia, dan
berhati-hatilah terhadap wanita. Karena fitnah Bani Israil yang pertama adalah
berkenaan dengan wanita." [HR. Muslim 2742 dari hadits Abu Sa'id Al-Khudri
rådhiyallahu'anhu]
Råsulullåh shållallåhu 'alayhi wa sallam bersabda:
"Tidaklah seorang lelaki bersepi-sepi dengan
seorang wanita melainkan syaithån yang ketiganya" [HR. At-Tirmidzi 2165
dari hadits Ibnu Umar radhiyallahu'anhu]
"Janganlah seorang wanita bepergian kecuali
bersama mahramnya dan janganlah seorang laki-laki berkhalwat dengan seorang
wanita kecuali si wanita disertai mahramnya." [HR. Bukhari 1862 dan Muslim
1341, dari hadits Ibnu Abbas radhiyallahu'anhu]
Maka bagaimana bisa mengatasnamakan
da’wah salaf orang yang melakukan dosa (ikhtilath) dan memakai celana panjang (pentalon)[2] terang-terangan?
وغير تقي يأمر الناس
بالتقي الطبيب يداوي والطبيب مريض
Selain orang yang bertaqwa memerintah orang supaya
bertaqwa, Dokternya mengobati dan si dokter sendiri sakit.
Bagaimana mereka berda’wah sedangkan mereka sedang
melakukan ma’siat?
Dan ingatlah kaidah para ulama, : درء المفاسد مقدم على جلب المصالح
Menolak mafsadat lebih didahulukan daripada
mendatangkan maslahat.
Syaikh Abdurrohman as-Sa’di Rohimahulloh berkata:
“Ini adalah dasar yang mencakup semua syari’at Islam, tidak ada yang tertinggal
sedikit pun baik yang berhubungan dengan masalah ushul (pokok) maupun furu’
(cabang), baik yang berhubungan dengan hak Alloh ataupun hak makhluk.”
(al-Qowa’id wal Ushul Jami’ah hlm. 9)
Maka menolak mafsadat (ikhtilath)
lebih didahulukan daripada mendatangkan manfa’at (da’wah) di dalam kampus.
Kami menasehatkan kepada seluruh kaum muslimin
untuk tidak memasukkan anaknya ke dalam kampus ikhtilath dan bagi yang
terlanjur masuk maka segeralah keluar dan jangan kembali lagi sebagaimana
larinya domba dari serigala, jika seorang mahasiswa/dosen ingin berda’wah maka
terlebih dahulu dia menda’wahi dirinya untuk menjauhi ikhtilath.
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا قُوا أَنْفُسَكُمْ
وَأَهْلِيكُمْ نَارًا وَقُودُهَا النَّاسُ وَالْحِجَارَةُ عَلَيْهَا مَلائِكَةٌ غِلاظٌ
شِدَادٌ لا يَعْصُونَ اللَّهَ مَا أَمَرَهُمْ وَيَفْعَلُونَ مَا يُؤْمَرُونَ (٦)
“Hai
orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka
yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang
kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya
kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.” (At-Tahriim:
66:6)
2. Sarjana
Hukum Thoghut dan yang semisalnya
Dan diantara
perusak dakwah adalah para sarjana hukum thoghut yang menggunakan gelar-gelar
(SH) mereka untuk meyebarkan pemikiran-pemikiran demokrasi dan mengajak secara
sadar atau tidak untuk berhukum dengan hukum thoghut yang bertentangan dengan
syari’at, kamu akan melihat mereka mendekati da’i da’i kaum muslimin untuk
mendirikan yayasan[3],
organisasi ataupun partai-partai dengan alasan legalitas dan semisalnya,
dan diantara mereka ada yang mengejar dunia dengan perkara tersebut, dan kami
khowatir orang yang mendapatkan penghasilan dengan mengajarkan hukum thoghut
(PPKN), profesi jaksa, pengacara atau hakim pengadilan yang mengadopsi (KUHP)
dan semisalnya masuk dalam penghasilan yang diharomkan, waliyya dzubillaah.
Berkata Alloh
ta’ala,
أَفَحُكْمَ الْجَاهِلِيَّةِ يَبْغُونَ وَمَنْ أَحْسَنُ
مِنَ اللَّهِ حُكْمًا لِقَوْمٍ يُوقِنُونَ (٥٠)
“Apakah
hukum Jahiliyah yang mereka kehendaki, dan (hukum) siapakah yang lebih baik
daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin ?” (Al-Maaidah: 50)
وَإِذَا قِيلَ لَهُمْ
تَعَالَوْا إِلَى مَا أَنْزَلَ اللَّهُ وَإِلَى الرَّسُولِ رَأَيْتَ الْمُنَافِقِينَ
يَصُدُّونَ عَنْكَ صُدُودًا (٦١)
“apabila dikatakan kepada mereka:
"Marilah kamu (tunduk) kepada hukum yang Allah telah turunkan dan kepada
hukum Rasul", niscaya kamu Lihat orang-orang munafik menghalangi (manusia)
dengan sekuat-kuatnya dari (mendekati) kamu.” (Annisaa’: 61)
Bahkan diantara SH Thoghut itu mengelabui kaum
muslimin dengan menjadi pengacara dan mereka digelari “pengacara muslim”
dan mereka mengatakan: “kami akan membela kaum muslimin yang tidak bersalah di
pengadilan”, maka kami katakan bagaimana kamu bisa membela kebenaran dengan
kebatilan?, bagaimana bisa membela yang benar dengan hukum thoghut? terlebih
lagi jika yang dibela adalah memang orang yang bersalah semisal terorist
khowarij, maka bagaimana bisa melawan hukum thoghut dengan hukum thogut? Mereka
ingin memadamkan api tapi menyiramnya dengan minyak.
وَإِذَا قِيلَ لَهُمْ
لا تُفْسِدُوا فِي الأرْضِ قَالُوا إِنَّمَا نَحْنُ مُصْلِحُونَ (١١)أَلا إِنَّهُمْ
هُمُ الْمُفْسِدُونَ وَلَكِنْ لا يَشْعُرُونَ (١٢)
“dan bila dikatakan kepada mereka:"Janganlah
kamu membuat kerusakan di muka bumi". mereka menjawab: "Sesungguhnya
Kami orang-orang yang Mengadakan perbaikan. Ingatlah,
Sesungguhnya mereka Itulah orang-orang yang membuat kerusakan, tetapi mereka
tidak sadar." (Al-Baqoroh: 11-12)
3. Mantan
hizby bertaubat tapi belum bersih taubatnya,[4]
Dan diantara
perusak da’wah adalah mantan hizby yang telah bertaubat tapi belum bersih
taubatnya, pada mereka ada sisa penyakit yang membekas dan ketika mereka
menjadi da’i mereka membawa sisa-sisa penyakit hizbnya lalu sadar atau tidak
mereka memasukkan penyakit ke dalam da’wah salafyyah yang akhirnya sisa
penyakit itu tumbuh kembali dan merusak da’wah, waliyyaadzubillaah.
SIKAP
SALAF TERHADAP TOBAT AHLI BID'AH
Dikarenakan sedikitnya ahlu bid'ah yang
mendapatkan taufiq untuk bertobat dan jujur dalam pengakuan tobatnya, maka para
Salaf -semoga Alloh merohmati mereka- tidak mau menerima pengakuan tadi sampai
jelas kejujurannya.
Sulaiman bin Yasar -semoga Alloh merohmatinya-
berkata: "Ada seseorang dari Bani Tamim yang bernama Shobigh bin 'Isl tiba
di Madinah dengan membawa beberapa kitab. Lalu mulailah dia bertanya tentang
ayat-ayat Qur'an yang mutasyabih (samar-samar) –untuk menimbulkan keraguan-.
Lalu sampailah berita itu pada Umar, sehingga beliau mengutus orang untuk
memanggilnya, dan beliau telah mempersiapkan pelepah kurma untuknya. Manakala
dia masuk menghadap beliau dan duduk, bertanyalah beliau padanya,"Siapakah
kamu?" Dia berkata,"Saya Shobigh." Umar berkata,"Aku Umar,
hamba Alloh." Lalu beliau mendekatinya seraya memukulinya dengan pelepah
kurma tadi hingga melukai kepalanya. Darahpun mengalir di wajahnya. Maka diapun
berkata,"Cukup wahai Amirul Mukminin, demi Alloh, apa yang dulunya
kudapati ada di kepalaku telah hilang." (Al Ibanatul Kubro/Ibnu
Baththoh/2/hal. 309/shohih).
Dalam riwayat lain: "… lalu beliau
menulis surat kepada penduduk Bashroh agar tidak duduk-duduk dengan Shobigh.
Seandainya dia duduk di majelis kami dalam keadaan kami itu seratus orang
niscaya kami semua meninggalkannya." (Al Ibanatul Kubro/Ibnu
Baththoh/2/hal. 350/shohih).
Sisi pendalilannya adalah : bahwasanya Amirul
Mukminin Umar Ibnul Khoththob -semoga Alloh meridhoinya- tidak merasa cukup
dengan pengakuan rujuk si Shobigh, bahkan menulis surat agar semua memboikotnya
sampai jelas kejujurannya.
Imam Ahmad -semoga Alloh merohmatinya- berkata
tentang tobat ahli bid'ah, "Jika ahli bid'ah bertobat, penerimaan tobatnya
itu ditunda setahun sampai benar tobatnya." ("Al Adabusy
Syar'iyyah"/hal. 145).
Al Qodhi Abul Husain setelah menyebutkan
riwayat ini dan yang lainnya berkata,"Lahiriyah dari perkataan ini adalah
bahwasanya tobat orang tadi diterima setelah pengakuannya dan pemboikotan orang
yang menemaninya, setelah satu tahun." ("Al Adabusy Syar'iyyah"/hal.
145).
Kukatakan –semoga Alloh memberiku taufiq-:
Ukuran satu tahun itu tidaklah mutlak. Yang penting adalah jelasnya kejujuran
orang yang mengaku tobat tadi.
Ibnu Hajar -semoga Alloh merohmatinya-
berkata,"Adapun hukum yang kedua –yaitu kapankah jelasnya tobat pelaku
maksiat?- maka para ulama itu berselisih pendapat juga. Ada yang
berkata,"dilihat kebersihannya selama setahun". Ada yang
berkata,"Enam bulan." Ada yang bilang, "Limapuluh hari
sebagaimana dalam kisah Ka'ab -bin Malik-." Ada yang bilang,"Tiada
batasan yang tertentu. Akan tetapi dia itu berdasarkan dengan ada faktor
penyerta yang menunjukkan kejujuran pengakuan tobatnya. Akan tetapi yang
demikian itu tidak cukup satu jam atau satu hari saja. Dan juga yang demikian
itu berbeda-beda sesuai dengan perbedaan kriminalitas dan pelakunya." Ad
Dawudy membantah orang yang membatasinya dengan lima puluh hari karena
mengambil kisah Ka'b. beliau berkata,"Nabi -shollallohu 'alaihi wasallam-
tidak membatasinya dengan lima puluh hari. Namun beliau menunda berbicara
dengan mereka sampai Alloh mengidzinkannya." Yaitu: Kisah itu merupakan
kejadian khusus, maka tidak bisa dipakai untuk dalil umum.
An Nawawy berkata,"Adapun mubtadi' dan
orang yang membikin suatu dosa besar dan dia belum bertobat darinya, maka dia
itu jangan disalami, dan jangan dijawab salamnya, sebagaimana pendapat
sekelompok ulama. Al Bukhory mendukung pendapat tadi dengan dalil kisah Ka'b
bin Malik."
Pembatasan pendapat tadi dengan ucapan beliau
"bagi orang yang belum bertobat" itu bagus. Akan tetapi pendalilannya
dengan kisah Ka'b perlu diteliti lagi, karena Ka'b telah menyesali perbuatannya
dan bertobat. Namun Rosululloh -shollallohu 'alaihi wasallam- menunda berbicara
dengannya sampai Alloh menunda tobatnya . Maka kasusnya adalah bahwasanya dia
itu tidak diajak bicara sampai tobatnya itu diterima .
Bisa kita menjawab: bahwasanya mungkin saja
kita mengetahui penerimaan tobat di dalam kisah Ka'b. Adapun setelah Ka'b, maka
cukuplah dengan penampakan alamat penyesalan, berhenti dari kejahatannya, dan
adanya tanda kejujuran tobatnya." ("Fathul Bari"/17/hal. 485).
Syaikh Robi' -semoga Alloh menjaganya-
berkata,"Jika Nabi -shollallohu 'alaihi wasallam- memerintahkan untuk
memboikot Shohabat yang tertinggal dari perang Tabuk sampai setelah tobatnya
mereka, dalam keadaan mereka tidak bergelimang dalam fitnah ini, dan tidak
menggerakkannya, bahkan mereka itu telah bertobat, menyesal, dan mengaku.
Bersamaan dengan itu manakala mereka terjatuh di dalam penyelisihan perintah
Rosul -shollallohu 'alaihi wasallam-, karena mereka tertuduh di dalam kasus
tersebut, dan bias jadi mereka tertuduh dengan kemunafikan." ("Al
Mauqifush Shohih" /hal. 11).
Syaikh Robi' -semoga Alloh menjaganya-
berkata,"Andaikata kita langsung mengambil pengakuan rujuk dan tobat yang
batil dengan penuh penerimaan, tidak mungkin seorang pengikut kelompok sesat
itu bisa dihukum berdasarkan kebid'ahan dan kesesatan yang ditulisnya di dalam
kitab-kitabnya, karena dengan sangat mudah untuk dikatakan tentang seorang
mubtadi' manapun yang menulis kebid'ahan: "Dia itu telah rujuk dari
kebid'ahan tadi!" dan ini akan membuka pintu-pintu kerusakan yang tidak
diketahui kecuali oleh Alloh." ("Adhwa'un Islamiyyah."/hal. 180)[5]
Dari Abu Waqid
al-Laitsi radhiyallahu’anhu, dia menceritakan: Dahulu kami berangkat bersama
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menuju Hunain. Sedangkan pada saat itu
kami masih baru saja keluar dari kekafiran (baru masuk Islam, pent). Ketika itu
orang-orang musyrik memiliki sebuah pohon yang mereka beri’tikaf di sisinya dan
mereka jadikan sebagai tempat untuk menggantungkan senjata-senjata mereka.
Pohon itu disebut dengan Dzatu Anwath. Tatkala kami melewati pohon itu kami
berkata, “Wahai Rasulullah! Buatkanlah untuk kami Dzatu Anwath (tempat
menggantungkan senjata) sebagaimana mereka memiliki Dzatu Anwath.” Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Allahu akbar! Inilah kebiasaan itu!
Demi Allah yang jiwaku berada di tangan-Nya, kalian telag mengatakan sesuatu
sebagaimana yang dikatakan oleh Bani Isra’il kepada Musa: Jadikanlah untuk kami
sesembahan sebagaimana mereka memiliki sesembahan-sesembahan. Musa berkata:
Sesungguhnya kalian adalah kaum yang bertindak bodoh.” (QS. al-A’raaf: 138).
Kalian benar-benar akan mengikuti kebiasaan-kebiasaan orang-orang sebelum
kalian.” (HR. Tirmidzi dan beliau mensahihkannya, disahihkan juga oleh Syaikh
al-Albani dalam takhrij as-Sunnah karya Ibnu Abi ‘Ashim, lihat al-Qaul al-Mufid
[1/126])
Diantara
Pelajaran dari hadits di atas menunjukkan bahwa orang yang berpindah dari suatu
kebatilan yang sudah terbiasa melekat dalam hatinya maka terkadang masih ada
saja sisa-sisa kebatilan itu pada dirinya. Terkadang butuh waktu yang tidak
sebentar untuk menghilangkan sisa keburukan itu (lihat al-Qaul al-Mufid
[1/132])
Diantara mereka
(mantan hizby yang tidak bersih taubatnya) itu ada yang mengajak membuat
yayasan, diantara mereka ada yang mengajak membuat lembaga, diantara mereka ada
yang mengajak membuat system sekolahan, diantara mereka ada yang mengajak
membuat proposal, diantara mereka ada yang mengajak berdemokrasi, diantara
mereka ada yang mengajak membuat perkumpulan bawah tanah, dan sebagainya dari
bid’ah-bid’ah hizbyyah, Alloh ta’ala berkata:
وَالَّذِينَ اتَّخَذُوا مَسْجِدًا ضِرَارًا وَكُفْرًا
وَتَفْرِيقًا بَيْنَ الْمُؤْمِنِينَ وَإِرْصَادًا لِمَنْ حَارَبَ اللَّهَ وَرَسُولَهُ
مِنْ قَبْلُ وَلَيَحْلِفُنَّ إِنْ أَرَدْنَا إِلا الْحُسْنَى وَاللَّهُ يَشْهَدُ إِنَّهُمْ
لَكَاذِبُونَ (١٠٧)
“Dan (di
antara orang-orang munafik itu) ada orang-orang yang mendirikan masjid untuk
menimbulkan kemudharatan (pada orang-orang mukmin), untuk kekafiran dan untuk
memecah belah antara orang-orang mukmin serta menunggu kedatangan orang-orang
yang telah memerangi Allah dan Rasul-Nya sejak dahulu. mereka Sesungguhnya
bersumpah: "Kami tidak menghendaki selain kebaikan." dan Allah
menjadi saksi bahwa Sesungguhnya mereka itu adalah pendusta (dalam sumpahnya).”
(Attaubah: 107)
مِنَ الَّذِينَ فَرَّقُوا
دِينَهُمْ وَكَانُوا شِيَعًا كُلُّ حِزْبٍ بِمَا لَدَيْهِمْ فَرِحُونَ (٣٢)
“Yaitu
orang-orang yang memecah-belah agama mereka dan mereka menjadi beberapa
golongan. tiap-tiap golongan merasa bangga dengan apa yang ada pada golongan
mereka.” (Ar-Ruum: 32)
Dan Alloh ta’ala
berkata:
إِلا الَّذِينَ تَابُوا وَأَصْلَحُوا وَبَيَّنُوا
فَأُولَئِكَ أَتُوبُ عَلَيْهِمْ وَأَنَا التَّوَّابُ الرَّحِيمُ (١٦٠)إِلا الَّذِينَ
تَابُوا وَأَصْلَحُوا
“kecuali mereka yang telah taubat
dan Mengadakan perbaikan dan menerangkan (kebenaran), Maka terhadap mereka
Itulah aku menerima taubatnya dan Akulah yang Maha menerima taubat lagi Maha
Penyayang.” (Al-Baqoroh: 160)
وَاعْتَصَمُوا بِاللَّهِ
وَأَخْلَصُوا دِينَهُمْ لِلَّهِ فَأُولَئِكَ مَعَ الْمُؤْمِنِينَ وَسَوْفَ يُؤْتِ اللَّهُ
الْمُؤْمِنِينَ أَجْرًا عَظِيمًا (١٤٦)
“kecuali orang-orang yang taubat dan Mengadakan perbaikan dan berpegang
teguh pada (agama) Allah dan tulus ikhlas (mengerjakan) agama mereka karena
Allah. Maka mereka itu adalah bersama-sama orang yang beriman dan kelak Allah
akan memberikan kepada orang-orang yang beriman pahala yang besar.” (Annisaa’:
146)
Mengadakan perbaikan berarti berbuat pekerjaan-pekerjaan yang baik untuk
menghilangkan akibat-akibat yang jelek dari kesalahan-kesalahan yang dilakukan.
4. Orang kaya dungu
yang ingin mengatur da’wah
Juga diantara
perusak da’wah adalah orang kaya dungu yang ingin mengatur da’wah dengan
hartanya, kamu lihat tidak sedikit para da’i yang dulunya tsabat (kokoh) di
atas manhaj salafy akhirnya goyah dan jatuh oleh godaan harta dari orang kaya
dungu yang ingin mengatur da’wah, wallohul musta’an.
Alloh ta’ala
berkata:
قُلْ أَنْفِقُوا طَوْعًا أَوْ كَرْهًا لَنْ يُتَقَبَّلَ
مِنْكُمْ إِنَّكُمْ كُنْتُمْ قَوْمًا فَاسِقِينَ (٥٣)وَمَا مَنَعَهُمْ أَنْ تُقْبَلَ
مِنْهُمْ نَفَقَاتُهُمْ إِلا أَنَّهُمْ كَفَرُوا بِاللَّهِ وَبِرَسُولِهِ وَلا يَأْتُونَ
الصَّلاةَ إِلا وَهُمْ كُسَالَى وَلا يُنْفِقُونَ إِلا وَهُمْ كَارِهُونَ (٥٤)فَلا
تُعْجِبْكَ أَمْوَالُهُمْ وَلا أَوْلادُهُمْ إِنَّمَا يُرِيدُ اللَّهُ لِيُعَذِّبَهُمْ
بِهَا فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَتَزْهَقَ أَنْفُسُهُمْ وَهُمْ كَافِرُونَ (٥٥)
“Katakanlah:
"Nafkahkanlah hartamu, baik dengan sukarela ataupun dengan terpaksa, Namun
nafkah itu sekali-kali tidak akan diterima dari kamu. Sesungguhnya kamu adalah
orang-orang yang fasik. dan tidak ada yang menghalangi mereka untuk diterima
dari mereka nafkah-nafkahnya melainkan karena mereka kafir kepada Allah dan
RasulNya dan mereka tidak mengerjakan sholat, melainkan dengan malas dan tidak
(pula) menafkahkan (harta) mereka, melainkan dengan rasa enggan. Maka janganlah
harta benda dan anak-anak mereka menarik hatimu. Sesungguhnya Allah menghendaki
dengan (memberi) harta benda dan anak-anak itu untuk menyiksa mereka dalam
kehidupan di dunia dan kelak akan melayang nyawa mereka, sedang mereka dalam
Keadaan kafir.” (Attaubah 53-55)
وَالَّذِينَ يُنْفِقُونَ أَمْوَالَهُمْ رِئَاءَ
النَّاسِ وَلا يُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَلا بِالْيَوْمِ الآخِرِ وَمَنْ يَكُنِ الشَّيْطَانُ
لَهُ قَرِينًا فَسَاءَ قَرِينًا (٣٨)
“dan
(juga) orang-orang yang menafkahkan harta-harta mereka karena riya kepada
manusia, dan orang-orang yang tidak beriman kepada Allah dan kepada hari
kemudian. Barangsiapa yang mengambil syaitan itu menjadi temannya, Maka syaitan
itu adalah teman yang seburuk-buruknya.” (Annisaa’: 38)
إِنَّ الَّذِينَ كَفَرُوا يُنْفِقُونَ أَمْوَالَهُمْ
لِيَصُدُّوا عَنْ سَبِيلِ اللَّهِ فَسَيُنْفِقُونَهَا ثُمَّ تَكُونُ عَلَيْهِمْ حَسْرَةً
ثُمَّ يُغْلَبُونَ وَالَّذِينَ كَفَرُوا إِلَى جَهَنَّمَ يُحْشَرُونَ (٣٦)
“Sesungguhnya orang-orang yang kafir
menafkahkan harta mereka untuk menghalangi (orang) dari jalan Allah. mereka akan
menafkahkan harta itu, kemudian menjadi sesalan bagi mereka, dan mereka akan
dikalahkan. dan ke dalam Jahannamlah orang-orang yang kafir itu dikumpulkan,”
(Al-Anfaal: 36)
Rosululloh shollallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda:
"Sesungguhnya dunia ini manis dan segar. Dan
sesungguhnya Allåh telah menjadikan kalian khalifah di dunia ini maka Ia akan
melihat bagaimana kalian beramal? Berhati-hatilah terhadap dunia, dan
berhati-hatilah terhadap wanita. Karena fitnah Bani Israil yang pertama adalah
berkenaan dengan wanita." [HR. Muslim 2742 dari hadits Abu Sa'id Al-Khudri
rådhiyallahu'anhu]
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
إِنَّ لِكُلِّ أُمَّةٍ
فِتْنَةً وَفِتْنَةُ أُمَّتِي الْمَالُ
“Sesungguhnya setiap umat mempunyai ujian, dan ujian bagi umatku
adalah harta.” (HR. At-Tirmidzi no. 2336, dishahihkan oleh Al-Albani
rahimahullahu dalam Shahihul Jami’ no. 2148)
5. Da’i - da’i yang
dekat dengan penguasa
Dan diantara
perusak da’wah adalah da’i-da’i suu’ (jahat) yang dekat dengan penguasa, mereka
tamak kepada kedudukan dan harta, kamu lihat da’i-da’i suu’ itu mencari-cari
kedudukan dan harta di sisi penguasa dan setelah mereka mendapatkannya mereka
menghantam salafyyun, bahkan mereka sangat ingin jika da’i yang membongkar
kebatilannya yang tegak diatas kebenaran dipenjarakan bahkan kalau mampu mereka
akan membunuhnya, wallohul musta’an.
Berkata Alloh
ta’ala:
وَلَتَجِدَنَّهُمْ أَحْرَصَ النَّاسِ عَلَى حَيَاةٍ
وَمِنَ الَّذِينَ أَشْرَكُوا يَوَدُّ أَحَدُهُمْ لَوْ يُعَمَّرُ أَلْفَ سَنَةٍ وَمَا
هُوَ بِمُزَحْزِحِهِ مِنَ الْعَذَابِ أَنْ يُعَمَّرَ وَاللَّهُ بَصِيرٌ بِمَا يَعْمَلُونَ
(٩٦)
“dan
sungguh kamu akan mendapati mereka, manusia yang paling loba kepada kehidupan
(di dunia), bahkan (lebih loba lagi) dari orang-orang musyrik. masing-masing
mereka ingin agar diberi umur seribu tahun, Padahal umur panjang itu
sekali-kali tidak akan menjauhkannya daripada siksa. Allah Maha mengetahui apa
yang mereka kerjakan.” (Al-Baqoroh: 96)
اقْتُلُوا يُوسُفَ أَوِ اطْرَحُوهُ أَرْضًا يَخْلُ
لَكُمْ وَجْهُ أَبِيكُمْ وَتَكُونُوا مِنْ بَعْدِهِ قَوْمًا صَالِحِينَ (٩)قَالَ قَائِلٌ
مِنْهُمْ لا تَقْتُلُوا يُوسُفَ وَأَلْقُوهُ فِي غَيَابَةِ الْجُبِّ يَلْتَقِطْهُ بَعْضُ
السَّيَّارَةِ إِنْ كُنْتُمْ فَاعِلِينَ (١٠)
“bunuhlah
Yusuf atau buanglah Dia kesuatu daerah (yang tak dikenal) supaya perhatian
ayahmu tertumpah kepadamu saja, dan sesudah itu hendaklah kamu menjadi
orang-orang yang baik." seorang diantara mereka berkata: "Janganlah
kamu bunuh Yusuf, tetapi masukkanlah Dia ke dasar sumur supaya Dia dipungut
oleh beberapa orang musafir, jika kamu hendak berbuat."” (Yusuf:9-10)
إِنَّ الَّذِينَ يَكْفُرُونَ
بِآيَاتِ اللَّهِ وَيَقْتُلُونَ النَّبِيِّينَ بِغَيْرِ حَقٍّ وَيَقْتُلُونَ الَّذِينَ
يَأْمُرُونَ بِالْقِسْطِ مِنَ النَّاسِ فَبَشِّرْهُمْ بِعَذَابٍ أَلِيمٍ (٢١)
“Sesungguhnya
orang-orang yang kafir kepada ayat-ayat Allah dan membunuh Para Nabi yang memang
tak dibenarkan dan membunuh orang-orang yang menyuruh manusia berbuat adil,
Maka gembirakanlah mereka bahwa mereka akan menerima siksa yg pedih.”
(Ali-Imron: 21)
Dari Hudzaifah Ibnul Yaman رضي الله عنه dia berkata, “Dahulu manusia bertanya kepada
Rasulullah صلى الله عليه وعلى أله وسلم tentang
kebaikan sedangkan aku bertanya kepada beliau tentang kejelekan karena khawatir
akan menimpa diriku.” Aku berkata, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya kami dulu
berada di masa jahiliyah dan keburukan, kemudian Allah mendatangkan kepada kami
kebaikan (Islam) ini. Apakah setelah kebaikan (Islam) ini ada kejelekan?”
Beliau menjawab, “Ya.” Aku bertanya, “Apakah setelah keburukan tersebut ada kebaikan?”
Beliau menjawab, “Ya, akan tetapi ada dakhon.” Aku bertanya, “Apakah itu wahai
rasulullah?” Beliau menjawab, “Suatu kaum yang tidak berpegang dengan sunnahku
dan mengambil petunjuk bukan dengan petunjukku, padahal engkau mengenal mereka
akan tetapi engkau ingkari.” Aku bertanya lagi, “Apakah setelah kebaikan
tersebut ada keburukan?” Beliau menjawab, “Ya, yaitu para da’i yang mengajak
kepada pintu-pintu neraka jahanam. Barangsiapa yang menyambut ajakan mereka,
maka mereka akan melemparkannya ke neraka jahanam.” Aku bertanya, “Wahai Rasulullah
sebutkanlah cirri-ciri mereka.” Beliau menjawab, “Suatu kaum yang kulitnya sama
dengan kita dan berbicara dengan bahasa kita.” Aku bertanya, “Wahai Rasulullah
apa saran engkau jika aku mendapatkan keadaan yang demikian?” Beliau menjawab,
“Berpegang teguhlah dengan jama’ah kaum muslimin dan pemimpin mereka.” Aku
bertanya, “Jika mereka tidak mempunyai jama’ah dan pemimpin?” Beliau menjawab,
“Tinggalkanlah kelompok-kelompok (sesat) itu walaupun engkau menggigit akar pohon
sehingga kematian dating menjemputmu dalam keadaan engkau seperti itu. (Mutafaqun
‘Alaihi).
Itulah diantara para
perusak da’wah hati-hatilah dari mereka,
ثُمَّ جَعَلْنَاكَ
عَلَى شَرِيعَةٍ مِنَ الأمْرِ فَاتَّبِعْهَا وَلا تَتَّبِعْ أَهْوَاءَ الَّذِينَ لا
يَعْلَمُونَ (١٨)إِنَّهُمْ لَنْ يُغْنُوا عَنْكَ مِنَ اللَّهِ شَيْئًا وَإِنَّ الظَّالِمِينَ
بَعْضُهُمْ أَوْلِيَاءُ بَعْضٍ وَاللَّهُ وَلِيُّ الْمُتَّقِينَ (١٩)
“kemudian
Kami jadikan kamu berada di atas suatu syariat (peraturan) dari urusan (agama
itu), Maka ikutilah syariat itu dan janganlah kamu ikuti hawa nafsu orang-orang
yang tidak mengetahui. Sesungguhnya mereka sekali-kali tidak akan dapat menolak
dari kamu sedikitpun dari siksaan Allah. dan Sesungguhnya orang-orang yang
zalim itu sebagian mereka menjadi penolong bagi sebagian yang lain, dan Allah
adalah pelindung orang-orang yang bertakwa.” (Al-Jatsiyah: 18-19)
hanya kepada
Alloh kita memohon perlindungan dan keselamatan dari kejahatan mereka, dan semoga
Alloh senantiasa menunjuki kita diatas kebenaran hingga kita menemuiNya, walhamdulillaahi
robbil ‘alamiin.
سبحانك اللهم وبحمدك أشهد أن
لا إله إلا أنت أستغفرك وأتوب إليك
Ditulis oleh Al-Faqir
Ilaa 'Afwi Robbih:
Abu Ibrohim Sa’iid bin Nursalim Al-Makassary Al-Indonesi
Jum’at 2
robi’utstsany 1433 H, Makassar.
[2] Fatwa Ulama tentang Celana PENTALON,
Fatwa Asy-Syaikh Yahya Al-Hajuri Hafidzahullah,
Soal: Sebagian orang yang membolehkan celana
pentalon dan dasi berdalih dengan kaidah: hukum asal segala sesuatunya itu
adalah boleh, benarkah dalih yang seperti ini?, Jawab:
Ini tidaklah benar, ibarah "hukum asal segala sesuatunya itu adalah boleh"
adalah ibarah yang masih butuh diteliti lagi, hanya saja yang mereka (ulama)
katakan adalah: hukum asal dalam perkara makanan dan minuman dan seterusnya
adalah boleh, dan kemaluan hukum asalnya adalah haram, maka apakah kaidah
tersebut yang menghukumi dalil ataukah dalil-lah yang menghukumi kaidah? Tidaklah di sana terdapat kaidah
melainkan engkau perlu mencarikan dalil untuknya bukan malah engkau berdalih
dengannya, Memakai celana pentalon itu menyerupai orang-orang kafir, Apakah
Nabi sallallahu 'alaihi wa sallam dulunya mengenakan pentalon, demikian
juga Abu Bakr Ash-Shiddiq dan khulafa'ur Rosyidin, demikian pula Ibnu Mubarak,
Sufyanain (Sufyan At-Tsaury dan Sufyan ibnu 'Uyainah), Hammadain (Hammad bin
Zaid dan Hammad bin Salamah), dan Al-Auza'i, tidak satupun dari mereka yang
mengenakannya. Andaikata
celana ini ada pada zaman mereka, tentulah mereka akan sangat membencinya,
sebab mereka itu sangat melarang untuk menyerupai orang-orang Eropa (barat) dan
orang-orang kafir, Allah subhanahu wa ta'ala berkata:
﴿ أَلَمْ تَرَ إِلَى الَّذِينَ يَزْعُمُونَ أَنَّهُمْ آمَنُواْ بِمَا أُنزِلَ
إِلَيْكَ وَمَا أُنزِلَ مِن قَبْلِكَ يُرِيدُونَ أَن يَتَحَاكَمُواْ إِلَى الطَّاغُوتِ وَقَدْ
أُمِرُواْ أَن يَكْفُرُواْ بِهِ ﴾ ]النساء 60[
"Apakah
engkau tidak memperhatikan orang-orang yang mengaku bahwasanya mereka itu telah
beriman kepada apa yang telah diturunkan kepadamu dan kepada apa yang
diturunkan sebelummu? mereka hendak berhakim kepada thaghut, padahal mereka
telah diperintahkan untuk mengingkari thaghut itu." [An-Nisaa':
60].
Sama saja apakah itu dalam ucapan, perbuatan ataupun
selainnya, dan berkata Allah ta'ala:
﴿ ولا تتخذوا الكافرين أو لياء من دون
المؤمنين ﴾ ]النساء 144[
"Dan
janganlah kalian mengambil orang-orang kafir sebagai wali (teman akrab,
penolong, dan pelindung), dengan meninggalkan orang-orang mukminin."
[An-Nisaa': 144].
Nabi sallallahu 'alaihi wa sallam berkata:
ومن تشبه بقوم فهو منهم
"Barangsiapa
yang menyerupai suatu kaum maka dia termasuk dari golongan kaum
tersebut." [HR. Abu Daud dari sahabat Ibnu Umar radhiyallahu 'anhu,
disahihkan oleh Al-Albani rahimahullah di Irwaa' (1269) dengan
syawahidnya]
Dan Syaikhul Islam punya ungkapan yang kuat di "Iqtidhaa'
Shiratal Mustaqim Mukhalafat Ashhabil Jahim": Barangsiapa yang
memakai pakaian orang-orang kafir dan berpendapat bahwa pakaian itu lebih bagus
dan lebih mendapat petunjuk daripada pakaian muslimin maka dia kafir. -selesai-
[Al-Iftaa' alal Asilah Al-Waridah min Duwalin Syatta, hal.
200-201].
Fatwa Syaikh Rabi' Hafidzahullah
Soal: Apabila ada suatu amalan ketaatan yang agung
seperti jihad, tapi tidak bisa tercapai kecuali dengan melakukan beberapa
kemaksiatan, apakah boleh melakukan ketaatan tersebut (dengan melakukan
maksiat) secara syar'i?
Jawab:
Apabila ketaatan yang agung seperti juhad, namun tidak bisa dilaksanakan
kecuali dengan melakukan beberapa maksiat, seperti apakah maksiat yang
dilakukan supaya dapat melaksanankan kewajiban berjihad?
Maka
akupun (Abu Rawahah) menjawab: seperti memakai celana pentalon, potong
jenggot, bergabung dengan ahlul bida' supaya dapat sampai ke medan peperangan.
Maka
Asy-Syaikh Hafidzahullah menjawab:
"Apakah
jihad itu tidak akan terlaksana kecuali dengan memakai celana pantaloon dan
potong jenggot?! Dan apakah para sahabat manakala berangkat jihad mereka potong
jenggot?! Dan memakai
pantaloon?!
Dulu Umar –sedang mereka berada
di daerah perbatasan musuh- menulis kepada mereka: "Jauhilah mode orang
'ajam, potonglah pelana kuda dan langsung saja lompat ke atas kuda."
Maka ini jelas sekali termasuk
dari hiyal (tipu daya) untuk bisa melampiaskan kebanyakan dari syahwat
dan bida'. Contoh-contoh yang engkau utarakan tadi, saya berpendapat tiada
pembenaran untuk melakukannya –semoga Allah memberkahimu- jihad dapat
berlangsung tanpa harus melakukan perbuatan tersebut, yang mau berjihad wajib
atasnya berjihad terhadap dirinya pertama kali dan memperbaiki dirinya sebelum
segala sesuatunya.
Dan potong jenggot termasuk dari
maksiat yang merupakan sebab kekalahan, dan tasyabbuh (menyerupai orang
kafir) dengan memakai pentalon adalah bentuk peniruan terhadap musuh-musuh
Allah –semoga Allah memberkahimu- sementara kalian tahu bahwasanya para
sahabat kalah pada perang Uhud dan Hunain, adapun hari Uhud disebabkan
penyelisihan pasukan pemanah yang akhirnya menimpa para sahabat yang dipimpin
oleh Rasulullah apa yang telah menimpa mereka.
Demikian juga hari Hunain
peristiwanya hampir sama:
وَيَوْمَ حُنَيْنٍ إِذْ أَعْجَبَتْكُمْ
كَثْرَتُكُمْ فَلَمْ تُغْنِ عَنْكُمْ شَيْئًا وَضَاقَتْ عَلَيْكُمُ الْأَرْضُ
بِمَا رَحُبَتْ ثُمَّ وَلَّيْتُمْ مُدْبِرِينَ (25) ثُمَّ أَنْزَلَ اللَّهُ
سَكِينَتَهُ عَلَى رَسُولِهِ [التوبة/25،
26]
"Dan
(ingatlah) peperangan Hunain, Yaitu diwaktu kamu menjadi congkak karena
banyaknya jumlah kalian, Maka jumlah yang banyak itu tidak memberi manfaat
kepada kalian sedikitpun, dan bumi yang luas itu telah terasa sempit oleh
kalian, kemudian kalian lari kebelakang dengan bercerai-berai. Kemudian Allah
menurunkan ketenangan kepada RasulNya …" [At-Taubah: 25-26].
Jadi
karena sebagian di antara mereka ada yang mengatakan "Sekarang jumlah kita
sungguh banyak, kita tidak akan terkalahkan hari ini karena jumlah yang
sedikit: Maka Allah Tabaraka wa Ta'ala memberi mereka pelajaran karena
apa yang timbul pada diri mereka (dari 'ujub), maka bagaimana kiranya dengan
pasukan yang memotong jenggotnya dan memakai pakaian orang-orang kafir,
kemudian mengharap pertolongan dari Allah Tabaraka wa Ta'ala?! Karena
itulah kita tidak mendapat pertolongan, seringnya musuh-musuh islam-lah yang
meraih kemenangan melawan kita.
Maka
wajib bagi kita untuk bersemangat dalam menaati Allah dan menetapi dan
merealisasikan perintah-perintah Allah, terutama di medan peperangan agar Allah
Tabaraka wa Ta'ala menolong kita:
إِنْ تَنْصُرُوا اللَّهَ يَنْصُرْكُمْ
وَيُثَبِّتْ أَقْدَامَكُمْ (7) [محمد/7]
"Apabila
kalian menolong (agama) Allah niscaya Ia akan menolong kalian dan mengokohkan
kedudukan kalian." [Muhammad 7].
Ketika itulah baru kita berhak dan pantas meraih pertolongan
dari Allah 'Azza wa Jalla yang telah Ia janjikan kepada kita. -selesai-
[Ajwibah Al-'Allamah Asy-Syaikh Rabi' bin Hadi Al-Madkhali As-Salafiyyah
'Ala Asilati Abi Rawahah Al-Manhajiyyah, hal. 25-27].
Fatwa Asy-Syaikh Shaleh Al-Fauzan
Telah
muncul mode pada dewasa ini di kalangan para wanita setelah munculnya di negri
barat, yaitu memakai celana pentalon yang sempit, dan telah mendapat sambutan
baik dari mereka, apakah hukumnya?
Tidak
boleh bagi seorang wanita memakai pakaian yang menyerupai laki-laki atau
perempuan-perempuan kafir, demikian juga tidak boleh baginya memakai pakaian sempit
yang menampakkan bentuk-bentuk badannya dan menyebabkan fitnah, sedang celana
pentalon terdapat padanya semua larangan ini, maka tidak boleh baginya
mengenakannya. [Muntaqo min Fatawa Al-Fauzan 61/2-3].
Fatwa Syaikh Al-'Utsaimin
Soal:
Syaikh yang mulia! Mayoritas manusia telah banyak memakai celana pentalon
terutama di pasar-pasar, apakah hukum memakainya bagi wanita di rumahnya di
depan suaminya, atau di depan wanita lainnya, ataupun di pasar? Apakah
mengenakannya bagi wanita merupakan bentuk penyerupaan (tasyabbuh)
terhadap laki-laki? Semoga Allah memberi taufiq kepada anda.
Jawab:
Demi Allah permasalahan ini telah menjadi rumit, saya berpendapat agar
perempuan dilarang mengenakan pentalon meskipun di depan suaminya, karena
padanya tasyabbuh dan bahaya yang ditakutkan darinya dikemudian hari,
sebab bisa jadi suatu hari perempuan akan mengenakan pentalon yang ketat
kemudian dari pentalon ketat berubah menjadi pentalon yang berwarna kulit,
apabila celana itu sudah ketat disertai dengan warna kulit, jadilah ia bagaikan
orang yang telanjang, dan Alhamdulillah sekarang ini majalah-majalah dan
surat kabar tengah menjelaskan bahwasanya ini adalah haram, namun sangat
disayangkan negara telah menyebar fatwa Syaikh 'Abdil 'Aziz bin Baz bahwasanya
hal itu haram, dan fatwa Syaikh Ibnu Jibrin[2]
bahwasanya itu adalah haram, fatwa Lajnah Daimah, dan fatwa dariku juga
bahwasanya hal itu haram, tapi entah ke mana perginya orang-orang sekarang,
apabila para ulama mereka telah mengatakan bahwasanya hal itu haram sedang
mereka bersikeras untuk melakukannya, jadi siapa yang akan mengatur ummat?!
Apabila ulama ummat tidak mengatur mereka maka siapakah yang akan mengaturnya?!
Orang-orang jahil?! Ataukah hawa nafsu?! Ataukah orang-orang yang mau merusak
akhlak kita, sebagaimana mereka telah merusak kebanyakan dari ummat?! Saya
tidak tahu.
Yang
wajib dilakukan oleh para penuntut ilmu adalah mengerahkan tenaga (menjelaskan
kepada ummat keharaman memakai) semacam pakaian ini, dan menjelaskan kepada
mereka bahwasanya perempuan itu bukanlah gambar pelastik yang hanya dilihat
saja, perempuan itu seperti laki-laki melainkan perempuan menyelisihinya pada
masalah berhias untuk sauminya, dan semacamnya dari apa yang Allah ta'ala
jadikan sebagai perantara hubungan antara dia dan suaminya, sehingga banyak
keturunan dan ummat, sekarang saya datangkan empat orang (ulama) semuanya
mengatakan bahwasanya pakaian tersebut: haram hukumnya. [Liqo' Al-Babul
Maftuuh]. Diterjemahkan oleh: Abu
'Abdirrahman Shiddiq Al-Bugisi
[4] Dari Anas bin Malik radhiallahu 'anhu
berkata : “Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam bersabda : ‘Sesungguhnya
Allah menghalangi (atau beliau mengatakan : Allah menutup) taubat dari setiap
ahli bid’ah’.” (Hadits ini diriwayatkan oleh Ibnu Abi ‘Ashim dalam
Kitabus Sunnah. Syaikh Al Albani mengatakan : [ Hadits ini shahih. Sanadnya
sangat lemah karena Muhammad bin Abdi Rahman (salah seorang perawinya adalah
seorang Al Qusyairi Al Kufi dari negeri Kufah). Ibnu ‘Adi berkata : “Ia
munkarul hadits (haditsnya diingkari).” Ad Daruquthni berkata : “Ia matrukul
hadits (haditsnya ditinggalkan).” Akan tetapi hadits tersebut didukung oleh
hadits Abu Hamzah dari Humaid. Abu Hamzah bernama Anas bin ‘Iyadl Al Laits Al
Madani, seorang yang tsiqat dan termasuk perawi (rijal) As Syaikhain
(Bukhari-Muslim). Hadits ini dikeluarkan pula oleh ulama lain dan aku (Al
Albani) sebutkan hal itu di dalam Ash Shahihah halaman 1620. ])
Syaikh Al Albani juga menyebutkan keshahihan hadits ini
di dalam Shahih At Targhib wat Tarhib juz I halaman 97.
Mubtadi’ Tidak Diterima Taubatnya?
Sebagian kita mungkin mengira demikian dengan melihat
dhahir hadits di atas bahwa ahlul bid’ah itu tidak diterima taubatnya. Bahkan
hadits-hadits yang lain pun menunjukkan hal yang hampir sama. seperti hadits
tentang Khawarij, Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam menggambarkan mereka
sebagai “kaum yang keluar dari agama sebagaimana keluarnya anak panah dari
busurnya yang sekali-kali tidak akan kembali” (HR. Muslim). Hadits kedua ini
terlihat lebih tegas daripada yang pertama.
Tidak hanya itu, atsar Salafus Shalih pun memperkuat
hal tersebut. Ibnu Wadlah dalam kitab beliau Al Bida’ wan Nahyu ‘Anha
meriwayatkan dari Ayub bahwa dia berkata : “Ada seseorang (bernama ‘Amr bin
Ubaid) berpendapat bid’ah. Lalu dia rujuk dari pemikiran itu. Kemudian aku
mendatangi Muhammad bin Sirrin dalam keadaan bergembira dengan hal itu. Aku
kabarkan kepadanya dan aku katakan : “Bagaimana perasaanmu tentang si fulan
yang telah meninggalkan pendapatnya yang dulu (pendapat bid’ah). Maka beliau
menjawab : “Lihatlah kepada pendapat apa dia berpindah? Sesungguhnya akhir
ucapan Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam lebih parah daripada awalnya
(yaitu mereka keluar dari Islam dan tidak akan kembali).”
Al Hasan bin Abil Hasan rahimahullah mengatakan :
“Allah Tabaraka wa Ta’ala enggan mengijinkan ahlul ahwa’ untuk bertaubat”
(Lihat Syarah Ushul I’tiqad Ahlis Sunnah halaman 141). Serupa dengan ucapan
beliau ini dinyatakan pula oleh Abu ‘Amr Asy Syaibani rahimahullah dalam Al
Bida’ wan Nahyu ‘Anha halaman 54 bahwasanya : “Allah enggan menerima taubat
ahlul bid’ah. Dan tidaklah berpindah pendapat ahli bid’ah itu kecuali kepada
yang lebih jelek daripada sebelumnya.” (Lihat Mauqif Ahlis Sunnah wal Jamaah
min Ahlil Ahwa’ wal Bida’ halaman 216)
Yahya bin Al Yaman berkata : “Saya mendengar Sufyan
Ats Tsauri rahimahullah berkata : ‘Bid’ah itu lebih dicintai iblis daripada
maksiat, karena pelaku maksiat masih diharapkan taubatnya sedangkan pelaku
bid’ah tidak diharapkan taubatnya.” (Lihat Syarah Ushul halaman 132)
Para ulama muta’akhirin pun mengatakan hal yang sama.
Imam As Syathibi contohnya, dalam kitab beliau Al I’tisham halaman 141
menegaskan : “Ketahuilah sesungguhnya bersama kebid’ahan itu tidak akan
diterima suatu ibadah, baik itu shalat, puasa, sedekah, atau pendekatan diri
lainnya … dan tidak ada bagi bid’ah itu taubat.”
Ibrahim bin Amir Ar Ruhaili menerangkan dengan rinci
makna hadits di atas dengan menukil keterangan para ulama. Berikut ini kami ringkaskan
keterangan beliau. Beliau menyatakan : “Tahqiq (penelitian) terhadap nash-nash
ini menunjukkan bahwa nash-nash tersebut mengandung dua kemungkinan makna,
yaitu :
Makna Pertama menunjukkan bahwa ahli bid’ah tidak
mendapat taufiq untuk bertaubat dan tidak mendapatkan kemudahan (untuk
melakukannya) kecuali bila Allah menghendaki.
Makna ini benar, tidak diragukan berdasarkan nash Al
Qur’an dan As Sunnah, perkataan Salaful Ummah dan kenyataan keadaan mereka.
Dalil dari Al Qur’an adalah firman Allah :
“Tatkala mereka menyimpang (dari kebenaran), Allah
menyimpangkan hati mereka dan Allah tidak menunjuki kaum yang fasiq.” (QS. As
Shaf : 5)
“Di dalam hati mereka ada penyakit. Lalu Allah
menambah penyakit pada mereka.” (QS. Al Baqarah : 10)
“Dan Kami palingkan hati dan pandangan mereka seperti
belum pernah beriman dengannya (Al Qur’an) pada awalnya dan Kami biarkan mereka
bergelimang dalam kesesatannya.” (QS. Al An’am : 110)
“Barangsiapa menentang Rasul setelah jelas baginya
petunjuk dan mengikuti selain jalan kaum Mukminin, Kami palingkan ke mana dia
berpaling.” (QS. An Nisa’ : 115)
“Katakanlah : ‘Barangsiapa berada dalam kesesatan maka
Ar Rahman akan memanjangkan baginya (kesesatan itu) … .” (QS. Maryam : 25)
Ayat-ayat di atas menunjukkan bahwa tidak adanya
taufiq (hidayah) bagi ahli bid’ah untuk bertaubat dari kebid’ahannya dan rujuk
kepada Dien Allah yang kokoh dan jalan-Nya yang lurus. Dalam ayat-ayat ini
tercakup sebagian sebab kehinaan karena penyelewengan dari Dien Allah yaitu
berupa penyimpangan, kefasikan, penyakit hati, sikap melampaui batas,
penentangan terhadap Rasul, mengikuti jalan selain jalan kaum Mukminin dan
kesesatan. Dimaklumi bahwa sifat-sifat tersebut terdapat pada ahli bid’ah.
Bahkan sifat-sifat tersebut termasuk sifat khusus mereka yang menunjukkan bahwa
mereka berhak mendapat ancaman berupa tambahan kesesatan, penyimpangan,
pelampauan batas, kesulitan bertaubat, dan susah kembali kepada Allah. Hanya
orang-orang yang mendapat taufiq dan hidayah Allah saja yang mudah bertaubat.
Oleh karena itu Imam Ahmad ketika ditanya tentang makna hadits yang kita
bicarakan ini, menyatakan : “Ahli bid’ah tidaklah diberi taufiq dan tidak
dipermudah untuk bertaubat.” (Lawami’ul Anwar juz I halaman 400)
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah menyatakan : “Oleh karena
itu para imam seperti Sufyan Ats Tsauri dan lainnya menyatakan bahwa
sesungguhnya bid’ah itu lebih dicintai iblis daripada maksiat karena pelaku
bid’ah tidak diharapkan taubatnya sedangkan pelaku maksiat diharapkan
taubatnya. Makna ucapan mereka bahwa pelaku bid’ah tidak diharapkan taubatnya
karena seorang mubtadi’ yang menjadikan bid’ahnya sebagai Dien yang tidak
disyariatkan Allah dan Rasul-Nya telah tergambar indah baginya amal jeleknya
itu sehingga ia memandangnya baik. Maka ia tidak akan bertaubat selama dia
memandangnya sebagai perkara yang baik. Karena awal taubat itu adalah
pengetahuan bahwa perbuatannya itu jelek sehingga dia mau bertaubat. Atau
perbuatannya meninggalkan kebaikan yang diperintahkan, baik perintah wajib
maupun mustahab agar dia bertaubat darinya dengan melaksanakan perintah
tersebut. Selama dia memandang perbuatannya itu baik padahal jelek, maka dia
tidak akan bertaubat.” (Majmu’ Fatawa juz 10 halaman 9)
Diriwayatkan dalam sebuah atsar bahwa Al Auza’i
berkata : “Iblis berkata kepada para walinya : ‘Dari sisi mana kalian
mendatangi Bani Adam?’ Mereka menjawab : ‘Dari segala sisi.’ Iblis berkata pula
: ‘Apakah kalian mendatangi Bani Adam dari sisi istighfar?’ Mereka menjawab :
‘Jauh kemungkinannya, karena hal itu bergandengan dengan tauhid.’ Berkata lagi
iblis : ‘Aku sungguh-sungguh akan mendatangi Bani Adam pada sesuatu yang mereka
tidak akan beristighfar kepada Allah.’ Ia melanjutkan ucapannya : ‘Maka
tebarkanlah kepada mereka al ahwa’ (hawa nafsu dan kebid’ahan).’ ” (Lihat
Mauqif halaman 321)
Adapun dalil secara kenyataan bahwa mubtadi’ itu tidak
mendapatkan taufiq untuk bertaubat adalah perkara yang dapat disaksikan dan
diamati. Bagi orang yang memperhatikan keadaan mereka, baik melalui pergaulan,
penelitian, atau membaca perjalanan hidup mereka, maka sedikit dari mereka
kembali kepada sunnah dan bertaubat dari kebid’ahannya kecuali orang yang Allah
khususkan dengan rahmat-Nya.
Makna Kedua menunjukkan bahwa Allah tidak akan
menerima taubat ahli bid’ah sekalipun mereka bertaubat. Dengan mengamati
nash-nash dan ucapan para ulama dalam perkara ini akan dijumpai bahwa nash yang
shahih dan sharih serta ucapan jumhur ahli ilmu dari kalangan Ahlis Sunnah
menolak makna kedua ini. Mereka menegaskan bahwa pintu taubat tetap terbuka
bagi siapapun yang berdosa, bagaimana pun tinggi dosanya. Allah akan tetap
menerima taubat hamba-Nya jika mereka bertaubat dengan taubat yang benar dan
jujur sebelum nyawa sampai di tenggorokan dan sebelum terbit matahari dari
barat.
Allah berfirman :
“Katakanlah
wahai hamba-hamba-Ku yang telah melampaui batas atas diri mereka, janganlah
kalian berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya Allah mengampuni dosa-dosa
seluruhnya. Sesungguhnya Dia Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. Az Zumar
: 53)
Ibnu Katsir menafsirkan ayat ini dengan perkataannya :
“Ayat yang mulia ini adalah seruan kepada seluruh pelaku kemaksiatan, baik dari
kalangan orang-orang kafir atau yang selainnya agar bertaubat dan kembali
kepada-Nya. Pemberitahuan bahwa Allah Tabaraka wa Ta’ala mengampuni semua dosa
bagi orang yang bertaubat dan rujuk darinya. Bagaimanapun keadaannya dan
meskipun sebanyak buih di lautan.” (Lihat Tafsir Ibnu Katsir juz 4 halaman 71)
Di ayat lain Allah berfirman :
“Maka barangsiapa bertaubat setelah kedhalimannya dan
berbuat baik, sesungguhnya Allah mengampuni dia karena Allah Maha Pengampun
lagi Maha Penyayang.” (QS. Al Maidah : 39)
Masih banyak ayat yang semakna dengan ayat di atas
yang menunjukkan dengan jelas tentang penerimaan Allah atas taubat para
hamba-Nya.
Di dalam Shahih Muslim Rasulullah Shallallahu 'Alaihi
Wa Sallam bersabda :
”Barangsiapa bertaubat sebelum terbit matahari dari
barat, maka Allah akan menerima taubatnya.”
Hadits-hadits semacam di atas juga banyak dan semua
dengan jelas menunjukkan tentang penerimaan Allah atas taubat orang yang
berdosa dan melakukan kesalahan baik ahli bid’ah maupun selainnya, selama nyawa
belum sampai di tenggorokan dan sebelum matahari terbit dari sebelah barat.
Sedangkan perkataan jumhur para ulama tentang hukum
taubat ahli bid’ah adalah diterimanya taubat mereka. Bahkan Abdullah bin
Ibrahim Al ‘Ashili (salah seorang ulama Al Maghrib pada abad ketiga)
rahimahullah dalam kitab beliau Al Mi’yar Al Mi’rab juz 2 halaman 339 ketika
dilontarkan kepada beliau pertanyaan tentang hukum orang yang menyangka
kafirnya ahli bid’ah dan memastikan kekalnya mereka dalam neraka dan mereka
tidak diterima taubatnya, beliau menjawab : [ Adapun orang yang memastikan
(kekalnya ahlul bid’ah dalam neraka) sebagaimana yang kamu sebutkan dan
bahwasanya Allah tidak menerima taubat mubtadi’ sungguh telah menyelisihi ijma’
kaum Muslimin dan membantah Rabb alam semesta ini. Karena Allah telah berfirman
:
“Dia Maha Mengampuni dosa dan Maha Menerima Taubat dan
sangat keras siksa-Nya, Yang mempunyai karunia.” (QS. Ghafir : 3) ]
Sekalipun demikian memang terdapat perbedaan pendapat
di antara para ulama tentang diterima atau tidaknya taubat sebagian golongan
ahli bid’ah. Ibnu Muflih dalam Al Adab As Syar’iyah juz 1 halaman 109 menukil
dari Ibnu Hamdan dalam Ar Ri’ayah bahwasanya dia berkata : “Barangsiapa kufur
karena kebid’ahannya akan diterima taubatnya menurut pendapat yang shahih (dan
dikatakan) jika dia menyadari kesalahannya, kalau tidak maka tidak diterima.
(Dikatakan pula) jika dia seorang da’i, maka tidak diterima taubatnya.” (Mauqif
halaman 331)
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah menyebutkan dalam Majmu’
Fatawa beliau bahwa para ulama memiliki dua pendapat dalam masalah taubat kaum
zindiq yaitu pernyataan diterimanya taubat mereka sehingga tidak diperangi dan
pernyataan tetap diperangi sekalipun menampakkan taubat. Beliau menukil pula
dua pendapat ahli ilmu tentang taubat golongan An Nushairiyah dan orang yang
dihukumi seperti mereka dari golongan Al Qaramithah dan Al Bathiniyah.
Pembicaraan ulama dalam hal ini tentang diterima atau tidaknya taubat mereka
hanyalah menurut dhahir-nya berdasarkan hukum di dunia. Karena tidak diketahui
kejujuran mereka dalam beragama dengan kemunafikan dan taqiyah (menyembunyikan
apa yang ada di dalam batin). Mereka menampakkan kecocokan dengan Dien kaum
Muslimin apa yang tidak mereka yakini. Maka tidak dipercaya kejujuran taubat
mereka. Adapun jika mereka mengikhlaskan taubatnya karena Allah Ta’ala, maka
tidak ada perselisihan di antara para ulama tentang sahnya taubat mereka.
Hukumnya sebagaimana hukum terhadap selain mereka dari kalangan ahli maksiat
dan orang-orang berdosa.
Ibnu Qudamah rahimahullah mengatakan --setelah
membawakan perkataan para ulama tentang hukum diterimanya taubat golongan
zindiq-- bahwa perbedaan pendapat di kalangan ulama tentang diterimanya taubat
mereka menurut dhahir adalah berdasarkan hukum di dunia, tidak diperangi, dan
tetap ditegakkan hukum Islam pada hak mereka. Sedangkan penerimaan Allah Ta’ala
atas taubat mereka dan ampunan-Nya terhadap orang yang bertaubat dan
meninggalkan dosanya baik secara batin maupun lahir tidak ada perselisihan
padanya. Allah Ta’ala berfirman tentang kaum munafik :
“ … kecuali orang-orang yang bertaubat, berbuat baik
dan berpegang teguh dengan agama Allah serta mengikhlaskan agama mereka untuk
Allah, maka mereka bersama orang-orang Mukmin. Dan Allah akan mendatangkan
kepada kaum Mukminin pahala yang besar.” (QS. An Nisa’ : 146)
Berdasarkan keterangan di atas dengan berdasarkan pada
apa yang ditunjukkan oleh nash-nash yang telah lalu penyebutannya dapat kita
katakan bahwa perkataan tentang tidak sahnya taubat ahlul bid’ah meskipun
mereka bertaubat dan tidak diterimanya taubat mereka di sisi Allah adalah tidak
benar. Karena hal itu bertentangan dengan apa yang telah tetap dalam syariat.
(Lihat Mauqif halaman 317-335)
Hal di atas berkaitan dengan hukum diterimanya taubat
ahli bid’ah secara batin di sisi Allah. Adapun secara dhahir hukum taubat
mereka di dunia dan yang berkaitan dengannya seperti pelaksanaan hudud
(hukuman) dan penerapan sanksi yang diakibatkan oleh bid’ah yang mereka perbuat
maka seharusnya imam atau qadli (hakim) atau orang yang memiliki kekuasaan
untuk memeriksa perkara itu. Jika si mubtadi’ yang menampakkan taubatnya itu
termasuk orang yang tidak dikenal sebagai orang yang beragama dengan taqiyah
dengan menyembunyikan akidahnya serta tidak dijumpai sebab yang membawa dia
mencocoki Ahlus Sunnah wal Jamaah secara dhahir lalu menyelisihinya secara
batin maka sesungguhnya aku (Ibrahim Ar Ruhaili) belum menjumpai dalam permasalahan
ini seorang pun dari kalangan Salaf yang mengatakan tentang ditolaknya taubat
mereka atau tidak diterimanya taubat mereka. (Lihat Mauqif halaman 336)
Tetapi harus dibuktikan pula sikap taubatnya itu di
hadapan manusia, khususnya bila dia seorang da’i. Kalau dulunya dia seorang
sufi maka dia harus membongkar kebohongan kesufiannya. Kalau dulunya dia
seorang ikhwani (Ikhwanul Muslimin) maka dia harus membeberkan kepada umat
kerusakan manhaj Ikhwanul Muslimin. Kalau dulu dia seorang sururi, dia harus menerangkan
bahaya manhaj muwazanah. Atau kalau
dia seorang hizby yayasan dia menerangkan bahaya hizbyyah dan yayasan, Atau
menjelaskan bahaya sikap memberontak pada penguasa Muslimin dan sikap
merendahkan para ulama dan begitu seterusnya. Masing-masing harus menerangkan
kebid’ahannya untuk kemudian bergabung dengan Ahlus Sunnah, tegak di atas al
haq dan bersikap tegas terhadap bid’ah dan ahlul bid’ah. Karena kalau tidak
demikian berarti taubatnya tidak dengan sesungguhnya atau taubat sambal belaka.
Sekarang dia bertaubat dan besok kembali bermaksiat. Sekarang merasakan
panasnya tekanan Ahlus Sunnah sehingga pura-pura taubat dan di lain waktu
tatkala Ahlus Sunnah lemah mereka akan tampil mempropagandakan bid’ah.
Sejarah membuktikan bahwa Ghailan Al Qadari pernah
menampakkan taubatnya pada pemerintahan Umar bin Abdul Aziz. Tetapi tatkala
pemerintahan dipegang oleh Yazid bin Abdil Malik yang tidak memperhatikan
pemikiran qadariyahnya, tampillah dia mendakwahkan bid’ahnya. Baru setelah
pemerintahan dipegang oleh Hisyam, dia mendapat ganjaran yang pantas dengan
dipotong tangan dan kakinya, dipenggal kepalanya dan akhirnya disalib (Lihat
Syarah Ushul juz 4 halaman 715)
Komentar
Posting Komentar
Bismillaah, silahkan komentar...