Inilah Diantara Hak-Hak Penguasa
Yang Banyak Dilalaikan Hizbiyyun
بسم الله الرحمن الرحيم
1.
Hak
untuk ditaati dalam perkara yang ma’ruf (syar’i).
Dalilnya firman
Alloh ta’ala,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ أَطِيعُواْ اللّهَ وَأَطِيعُواْ الرَّسُولَ
وَأُوْلِي الأَمْرِ مِنكُمْ
“Wahai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan
taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri (penguasa) di antara kalian.” (Annisaa’:
59)
Juga Dari Ibnu Umar
radhiallahu anhuma dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, bahwa beliau bersabda:
عَلَى الْمَرْءِ الْمُسْلِمِ السَّمْعُ وَالطَّاعَةُ فِيمَا أَحَبَّ وَكَرِهَ
إِلَّا أَنْ يُؤْمَرَ بِمَعْصِيَةٍ فَإِنْ أُمِرَ بِمَعْصِيَةٍ فَلَا سَمْعَ وَلَا
طَاعَةَ
“
Wajib atas setiap
muslim untuk mendengar dan taat (kepada penguasa), baik pada sesuatu yang dia
suka atau benci. Akan tetapi jika dia diperintahkan untuk bermaksiat, maka
tidak ada kewajiban baginya untuk mendengar dan taat.” (HR. Al-Bukhari no.
7144 dan Muslim no. 1839)
Juga Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لاَ طَاعَةَ فِى مَعْصِيَةٍ ، إِنَّمَا الطَّاعَةُ فِى الْمَعْرُوفِ
“Tidak ada kewajiban ta’at dalam rangka bermaksiat
(kepada Allah). Ketaatan hanyalah dalam perkara yang ma’ruf (bukan maksiat).” (HR.
Bukhari no. 7257)
2.
Hak
komando jihad menyerang ke negeri kafir.
Dalilnya hadits Abu
Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa
sallam bersabda,
مَنْ أَطَاعَنِي فَقَدْ أَطَاعَ اللَّهَ وَمَنْ عَصَانِي فَقَدْ عَصَى اللَّهَ
وَمَنْ يُطِعِ الْأَمِيرَ فَقَدْ أَطَاعَنِي وَمَنْ يَعْصِ الْأَمِيرَ فَقَدْ عَصَانِي
وَإِنَّمَا الْإِمَامُ جُنَّةٌ يُقَاتَلُ مِنْ وَرَائِهِ وَيُتَّقَى بِهِ
“Siapa yang taat kepadaku maka sungguh ia telah taat
kepada Allah, dan siapa yang bermaksiat terhadapku maka sungguh ia telah
bermaksiat kepada Allah. Dan siapa yang taat kepada pemimpin maka sungguh ia
telah taat kepadaku, dan siapa yang bermaksiat kepada pemimpin maka sungguh ia
telah bermaksiat kepadaku. Dan sesungguhnya seorang pemimpin adalah tameng,
dilakukan peperangan dibelakangnya, dan dijadikan sebagai pelindung. [Hadits
riwayat Al-Bukhary no. 2957 (konteks di atas milik Al-Bukhary), Muslim no.
1835, 1841, Abu Daud no. 2757 dan An-Nasa`i 7/155.]”
Berkata Imam
An-Nawawy (w. 676 H) menjelaskan hadits di atas, “Makna “seorang pemimpin
adalah tameng” yaitu bagaikan tirai (pelindung), karena ia menahan gangguan
musuh terhadap kaum muslimin, dan menahan sebagian manusia (untuk berlaku
jelek) terhadap sebahagian yang lain, dan ia menjaga kehormatan Islam, dan dia
ditakuti oleh manusia, serta manusia takut terhadap kekuasaannya. Dan makna
“dilakukan peperangan dibelakangnya” yaitu dilakukan peperangan bersamanya
melawan orang-orang kafir, Al-Bughôt (para pemberontak terhadap penguasa), kaum
khawarij dan seluruh pengekor kerusakan dan kezholiman. [Syarah Muslim 12/230.]”
Dan berkata
Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah, “Karena ia menahan gangguan musuh terhadap
kaum muslimin dan menahan gangguan sebahagian manusia terhadap sebahagian yang
lainnya. Dan yang diinginkan dengan imam disini adalah setiap orang yang
bertanggung jawab terhadap segala urusan manusia. [Fathul Bari 6/136.]”
3.
Hak
untuk melindungi orang kafir yang meminta perlindungan negara.
Berdasarkan firman
Allah Subhanahu wa Ta'ala :
وَإِنْ أَحَدٌ مِنَ
الْمُشْرِكِينَ اسْتَجَارَكَ فَأَجِرْهُ حَتَّىٰ يَسْمَعَ كَلَامَ اللَّهِ ثُمَّ أَبْلِغْهُ
مَأْمَنَهُ
"Dan jika salah seorang kaum musyirikin
itu meminta perlindungan kepadamu, maka lindungilah ia supaya ia sempat
mendengar firman Allah, kemudian antarkanlah ia ke tempat yang aman
baginya" [at-Taubah/9:6]
Allah Subhanahu wa
Ta'ala berfirman :
إِلَّا الَّذِينَ عَاهَدْتُمْ
مِنَ الْمُشْرِكِينَ ثُمَّ لَمْ يَنْقُصُوكُمْ شَيْئًا وَلَمْ يُظَاهِرُوا عَلَيْكُمْ
أَحَدًا فَأَتِمُّوا إِلَيْهِمْ عَهْدَهُمْ إِلَىٰ مُدَّتِهِمْ ۚ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ
الْمُتَّقِينَ
"Kecuali orang-orang musyirikin yang kamu
mengadakan perjanjian (dengan mereka) dan mereka tidak mengurangi sesuatupun
(dari isi perjanjian)mu dan tidak (pula) mereka membantu seseorang yang
memusuhi kamu, maka terhadap mereka itu penuhilah janjinya sampai batas
waktunya. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertaqwa" [at-Taubah/9:4]
Dan firman Allah Subhanahu wa Ta'ala
وَإِنْ نَكَثُوا أَيْمَانَهُمْ
مِنْ بَعْدِ عَهْدِهِمْ وَطَعَنُوا فِي دِينِكُمْ فَقَاتِلُوا أَئِمَّةَ الْكُفْرِ
ۙ إِنَّهُمْ لَا أَيْمَانَ
"Jika mereka merusak sumpah (janji)nya
sesudah mereka berjanji, dan mereka mencerca agamamu, maka perangilah
pemimpin-pemimpin orang-orang kafir itu, karena sesungguhnya mereka itu adalah
orang-orang yang tidak dapat dipegang janjinya" [at-Taubah/9:12] [Huqûqun
Da’at Ilaihâ al-Fithrah, hlm. 26]
Tentang pemberian keamanan ini, Nabi
Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
وَذِمَّةُ الْمُسْلِمِينَ
وَاحِدَةٌ يَسْعَى بِهَا أَدْنَاهُمْ
"Perlindungan kaum Muslimin (terhadap
orang kafir) adalah sama walaupun jaminan itu diberikan oleh kaum Muslimin yang
paling rendah" [HR Muslim no. 2344]
4.
Hak
untuk beramar ma’ruf-nahi mungkar dengan tangan (kekuatan).
Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam juga bersabda,
مَنْ رَأَى مِنْكُمْ مُنْكَرًا فَلْيُغَيِّرْهُ بِيَدِهِ فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ
فَبِلِسَانِهِ فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِقَلْبِهِ وَذَلِكَ أَضْعَفُ الإِيمَانِ
“Barangsiapa di antara kamu melihat kemungkaran
hendaklah ia mencegah kemungkaran itu dengan tangannya. Jika tidak mampu,
hendaklah mencegahnya dengan lisan. Jika tidak mampu juga, hendaklah ia
mencegahnya dengan hatinya. Itulah selemah-lemah iman.” (HR. Muslim no. 49)
Berkata Syaikh
Abdul Muhsin Al ‘Abbad (di Fathu Al Qawiy Al Matin fi Syarh Al Arba’in wa
tatimmatil Khamsin li An Nawawi wa Ibni Rajab): “Hadits ini mencakup
tingkatan-tingkatan mengingkari kemungkaran. Hadits ini juga menunjukkan
bahwasanya barang siapa yang mampu untuk merubahnya dengan tangan maka dia
wajib menempuh cara itu. Hal ini dilakukan oleh penguasa dan para petugas
yang mewakilinya dalam suatu kepemimpinan yang bersifat umum. Atau bisa
juga hal itu dikerjakan oleh seorang kepala rumah tangga pada keluarganya
sendiri dalam kepemimpinan yang bersifat khusus. Yang dimaksud dengan melihat
kemungkaran disini bisa dimaknai melihat dengan mata dan yang serupa dengannya
atau melihat dalam artian mengetahui informasi. Apabila seseorang bukan tergolong
orang yang berhak merubah dengan tangan maka kewajiban untuk melarang yang
mungkar beralih dengan menggunakan lisan yang memang mampu dilakukannya. Dan kalau
pun untuk itu pun dia tidak sanggup maka dia tetap berkewajiban untuk
merubahnya dengan hati, ituah selemah-lemahnya iman. Merubah kemungkaran dengan
dengan hati adalah dengan membenci (dan meninggalkannya; ed) kemungkaran itu
dan munculnya pengaruh terhadap hatinya.”
5.
Hak
untuk menahan, mengeksekusi, dan menegakkan hukum hudud syar’i.
Dari
Hudzaifah bin al-Yaman radhiyallahu’anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda, “Akan ada para pemimpin/penguasa setelahku yang mengikuti
petunjuk bukan dengan petunjukku dan menjalankan Sunnah/ajaran namun bukan
Sunnahku. Dan akan ada di antara mereka orang-orang yang memiliki hati seperti
hati setan yang bersemayam di dalam raga manusia.” Hudzaifah pun bertanya,
“Wahai Rasulullah, apa yang harus kulakukan jika aku menjumpainya?” Beliau
menjawab, “Kamu harus tetap mendengar dan taat kepada pemimpin itu, walaupun punggungmu
harus dipukul dan hartamu diambil. Tetaplah mendengar dan taat.” (HR.
Muslim)
Tak ada yang
berwenang menegakkan hudûd, kecuali imam, kepala negara, atau wakilnya (aparat
pemerintah yang mendapat tugas darinya). Sebab di masa kerasulan, beliaulah
yang melaksanakannya. .Demikian pula para Khalifahnya sepeninggal beliau
Shallalahu alalaihi wa sallam . Rasulullah pernah juga mengutus Unais
Radhiyallahu anhu untuk melaksanakan hukum rajam, sebagaimana dalam sabdanya :
وَاغْدُ يَا أُنَيْسُ
إِلَى امْرَأَةِ هَذَا فَإِنْ اعْتَرَفَتْ فَارْجُمْهَا
Wahai Unais, berangkatlah menemui isteri orang
ini, jika ia mengaku (berzina), maka rajamlah!” [HR al-Bukhâri no. 2147].
Demikian beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga memerintahkan para sahabat
untuk merajam Mâ'iz, dengan menyatakan :
اذْهَبُوا بِهِ فَارْجُمُوهُ
"Bawalah ia dan rajamlah!" [HR
al-Bukhâri no. 6815].
Demikian juga karena penentuan hukuman had
dibutuhkan ijtihad dan tidak aman dari kezhaliman, maka wajib dilaksanakan oleh
imam atau wakilnya. [Lihat al-Mulakhash al-Fiqh 2/523-524]
6.
Hak
untuk membagikan harta rampasan perang.
يَسْأَلُونَكَ عَنِ
الأَنفَالِ قُلِ الأَنفَالُ لِلّهِ وَالرَّسُولِ فَاتَّقُواْ اللّهَ وَأَصْلِحُواْ
ذَاتَ بِيْنِكُمْ وَأَطِيعُواْ اللّهَ وَرَسُولَهُ إِن كُنتُم مُّؤْمِنِينَ
"Mereka
menanyakan kepadamu tentang (pembagian) harta rampasan perang. Katakanlah:
‘Harta rampasan perang itu kepunyaan Allah dan Rasul, sebab itu bertakwalah
kepada Allah dan perbaikilah perhubungan di antara sesamamu, dan taatlah kepada
Allah dan Rasul-Nya jika kamu adalah orang-orang yang beriman.’" (QS.
Al-Anfaal: 1)
GHANIMAH ialah
harta yang diambil alih oleh kaum muslimin dari musuh mereka ketika dalam
peperangan; disebut juga rampasan perang. Pembagian Ghanimah 1. 20% untuk : 4%
_imam 4%_fuqarah dan masakin(kaum fakir miskin) 4%_mashalihul’l muslimin(untuk
kemaslahatan kaum muslimin) 4%_ibnu’ssabil 4%_yatama(anak-anak yatim) 2. 80%
untuk : diserahkan bulat sebagai bagian tentara negara islam.
Haram hukumnya
menjual ghanimah (harta rampasan perang) sebelum dibagikan. Sebabnya ada dua:
a. Yang berhak membagikan ghanimah adalah imam (pemimpin), tidak halal bagi
siapa pun mengambil sesuatu darinya. Jika ia mengambilnya lalu menjualnya, maka
perbuatan itu termasuk ghulul. Dan ghulul hukumnya haram. b. Karena belum ada
kepemilikan sebelum dibagikan. Sebab sebelum dibagikan, orang-orang yang berhak
menerima ghanimah tidak mengetahui bagian mana yang bakal diberikan kepadanya.
Jika ia menjual bagiannya sebelum dibagikan berarti ia telah menjual sesuatu
yang majhul (tidak diketahui barangnya).
FAI’ ialah harta
yang diperoleh kaum muslimin dari musuh dalam peperangan tanpa melalui
peperangan, karena ditinggal lari oleh pemiliknya. Pembagian Fa’I itu dibagi
menjadi dua bagian : 1. 1/5 (20%) 4%__Imam 4%__Mushalihu’l-Muslimin (=untuk
kemaslahatan kaum muslimin) Kekuasaan diserahkan kepada Imam. 4%__ Fuqara wa’l-masakin
(=kaum fakir dan kaum miskin). 4%__ Ibnu’sabil (=mereka yang berperang). 4%__
Yatama (=anak-anak yatim) 2. 4/5 (80%): Diberikan bulat kepada keuangan negara
untuk Mashalihu’l-Muslimin (=kemaslahatan kaum Muslimin).
SALAB adalah
barang-barang yang didapat dari musuh tanpa paksaan. Salab lebih dikhususkan
untuk tentara yang membunuhnya. jika dalam membunuhnya bersama-sama, maka barang
itu dibagi bersama-sama, walloohu a’lam.
7.
Hak
untuk mengumpulkan harta kaum muslimin (zakat, infak, dan sedekah).
Alloh
ta’ala berkata:
“Ambillah zakat dari sebagian
harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka dan
mendoalah untuk mereka. Sesungguhnya doa kamu itu (menjadi) ketenteraman jiwa
bagi mereka. dan Allah Maha mendengar lagi Maha mengetahui.” (Attaubah: 103)
Dari
Hudzaifah bin al-Yaman radhiyallahu’anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda, “Akan ada para pemimpin/penguasa setelahku yang mengikuti
petunjuk bukan dengan petunjukku dan menjalankan Sunnah/ajaran namun bukan
Sunnahku. Dan akan ada di antara mereka orang-orang yang memiliki hati seperti
hati setan yang bersemayam di dalam raga manusia.” Hudzaifah pun bertanya,
“Wahai Rasulullah, apa yang harus kulakukan jika aku menjumpainya?” Beliau
menjawab, “Kamu harus tetap mendengar dan taat kepada pemimpin itu, walaupun
punggungmu harus dipukul dan hartamu diambil. Tetaplah mendengar dan
taat.” (HR. Muslim)
‘Amil secara bahasa
Arab bermakna pekerja.
Sedangkan secara
istilah berarti orang yang diberikan tugas untuk mengurus zakat dan
mengumpulkannya dari orang yang berhak mengeluarkan zakat, kemudian ia akan
membagikan kepada golongan yang berhak menerima, dan ia diberikan otoritas oleh
penguasa untuk mengurus zakat tersebut.[Al Mawsu’ah Al Fiqhiyyah, index ‘amil,
point no. 1, 2/10543]
Sayid Sabiq
mengatakan, “Amil zakat adalah orang-orang yang diangkat oleh penguasa atau
wakil penguasa untuk bekerja mengumpulkan zakat dari orang-orang kaya. Termasuk
amil zakat adalah orang yang bertugas menjaga harta zakat, penggembala hewan
ternak zakat dan juru tulis yang bekerja di kantor amil zakat.” (Fiqh Sunnah,
terbitan Dar al Fikr Beirut, 1/327]
‘Adil bin Yusuf al
‘Azazi berkata, “Yang dimaksud dengan amil zakat adalah para petugas yang
dikirim oleh penguasa untuk mengunpulkan zakat dari orang-orang yang berkewajiban
membayar zakat. Demikian pula termasuk amil adalah orang-orang yang menjaga
harta zakat serta orang-orang yang membagi dan mendistribusikan zakat kepada
orang-orang yang berhak menerimanya. Mereka itulah yang berhak diberi zakat
meski sebenarnya mereka adalah orang-orang yang kaya.”[ Tamamul
Minnah fi Fiqh al Kitab wa Shahih al Sunnah, Syaikh Muhammad Nashiruddin Al
Albani, terbitan Muassasah Qurthubah Mesir, 2/290]
Syeikh Muhammad bin
Sholih Al ‘Utsaimin mengatakan, “Golongan ketiga yang berhak mendapatkan zakat
adalah amil zakat. Amil zakat adalah orang-orang yang diangkat oleh penguasa
untuk mengambil zakat dari orang-orang yang berkewajiban untuk menunaikannya
lalu menjaga dan mendistribusikannya. Mereka diberi zakat sesuai dengan kadar kerja
mereka meski mereka sebenarnya adalah orang-orang yang kaya. Sedangkan orang
biasa yang menjadi wakil orang yang berzakat untuk mendistribusikan zakatnya
bukanlah termasuk amil zakat. Sehingga mereka tidak berhak mendapatkan harta
zakat sedikitpun disebabkan status mereka sebagai wakil. Akan tetapi jika
mereka dengan penuh kerelaan hati mendistribusikan zakat kepada orang-orang
yang berhak menerimanya dengan penuh amanah dan kesungguhan maka mereka turut
mendapatkan pahala. Namun jika mereka meminta upah karena telah
mendistribusikan zakat maka orang yang berzakat berkewajiban memberinya upah
dari hartanya yang lain bukan dari zakat.”[Majalis Syahri Ramadhan, Syaikh
Muhammad bin Sholih Al ‘Utsaimin, cet Darul Hadits Kairo, hal 163-164.]
8.
Hak
untuk mendirikan bangunan masjid.
وَالَّذِينَ اتَّخَذُوا
مَسْجِدًا ضِرَارًا وَكُفْرًا وَتَفْرِيقًا بَيْنَ الْمُؤْمِنِينَ وَإِرْصَادًا لِّمَنْ
حَارَبَ اللَّهَ وَرَسُولَهُ مِن قَبْلُ ۚ وَلَيَحْلِفُنَّ إِنْ أَرَدْنَا إِلَّا الْحُسْنَىٰ ۖ وَاللَّهُ يَشْهَدُ إِنَّهُمْ لَكَاذِبُونَ
Dan (di antara orang-orang munafik itu) ada
orang yang mendirikan masjid untuk menimbulkan kemadharatan (pada orang-orang
Mukmin), untuk kekafiran dan memecah belah antara orang-orang Mukmin serta
menunggu kedatangan orang yang telah memerangi Allah dan Rasul-Nya sejak
dahulu. Mereka sesungguhnya bersumpah,”kami tidak menghendaki selain
kebaikan.”Dan Allah menjadi saksi bahwa sesungguhnya mereka itu adalah pendusta
(dalam sumpahnya).[at-Taubah/9:107]
Ibnu Mardawaih
rahimahullah meriwayatkan dari Ibnu Ishâq rahimahullah yang berkata, “Ibnu
Syihâb az-Zuhri menyebutkan dari Ibnu Akîmah al-Laitsi dari anak saudara Abi
Rahmi al-Ghifâri Radhiyallahu ‘anhu. Dia mendengar Abi Rahmi al-Ghifâri
Radhiyallahu ‘anhu – dia termasuk yang ikut baiat kepada Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam pada hari Hudaibiyah - berkata, “Telah datang orang-orang
yang membangun masjid dhirâr kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam,pada saat beliau bersiap-siap akan berangkat ke Tabuk. Mereka berkata,
“Wahai Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, kami telah membangun masjid
buat orang-orang yang sakit maupun yang mempunyai keperluan pada malam yang
sangat dingin dan hujan. Kami senang jika engkau mendatangi kami dan shalat di
masjid tersebut.” Kemudian Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab,”
Aku sekarang mau berangkat bepergian, insya Allah Azza wa Jalla setelah kembali
nanti aku akan mengunjungi kalian dan shalat di masjid kalian.” Kemudian dalam
perjalanan pulang dari Tabuk, beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam beristirahat
di Dzu Awan (jaraknya ke Madinah sekitar setengah hari perjalanan). Pada waktu
itulah Allah Azza wa Jalla memberi kabar kepada beliau Shallallahu ‘alaihi wa
sallam tentang masjid tersebut (dan larangan shalat di dalamnya) dengan
menurunkan ayat ini. [Lubâbun-Nuqûl fî Asbâbin-Nuzûl (Hal.115)]
Sebelum Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam hijrah ke Madinah, di kota suci ini ada seorang laki-laki dari bani
Khazraj berjuluk Abu Amir ar-Râhib. Lelaki ini pada masa jahiliyah beragama
Nasrani dan mempelajari kitabkitabnya, sehingga dia termasuk orang yang tekun
beribadah pada masa itu. Di sisi lain dia juga mempunyai kedudukan dan pengaruh
besar dalam kabilahnya. Ketika Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam hijrah
ke Madinah, kaum Muslimin bersatu di bawah tampuk kepemimpinan beliau
Shallallahu ‘alaihi wa sallam; sehingga Islam menjadi kuat, apalagi setelah
Allah Azza wa Jalla memenangkannya pada waktu perang Badar.
Melihat keadaan seperti ini Abu Amir tidak
rela, sehingga dia menampakkan permusuhannya terhadap kaum Muslimin;
sampai-sampai dia pergi ke Mekah menemui orang-orang kafir Quraisy untuk
mengajak memerangi Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan kaum Muslimin
di Madinah. Mereka pun setuju dan kemudian menyusun kekuatan; hingga terjadilah
perang Uhud. Dia juga mengajak kaum Anshar untuk bekerja sama dan menyetujui
pemikirannya. Namun ketika mereka mengetahui maksud buruknya, mereka
berkata,”Wahai musuh Allah Azza wa Jalla, semoga Allah Azza wa Jalla
menjadikanmu sebagai orang yang dibenci setiap orang yang melihatmu”, Mereka
mencaci-maki dan mencelanya; lalu dia pulang dan berkata,”Demi Allah Azza wa
Jalla, kejelekan telah menimpa kaumku”. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam juga telah mengajaknya untuk masuk Islam serta membacakan al-Qur’ân
kepadanya sebelum dia lari ke negeri Romawi. Meskipun demikian, dia tetap
menolak masuk Islam, [Tafsir Ibnu Katsîr (Juz 4 / Hal.210-211)] bahkan
mengatakan kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Aku tidak menemui
suatu kaum yang memerangimu kecuali aku bersama mereka”.[ Aisarut
Tafâsîr (Juz 2 / Hal.425)] Maka beliau mendoakan dia agar mati di tempat yang
jauh dalam keadaan terusir. [Tafsir Ibnu Katsîr (Juz 4 / Hal.210-211)]
Lelaki ini memang selalu bersama orang-orang
kafir dalam semua peperangan melawan kaum Muslimin. Kemudian ketika mereka
kalah dalam perang di Hawazun, dia pergi ke negeri Romawi meminta bantuan raja
Romawi untuk memerangi Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Dari sana dia
juga menyuruh orang-orang munafik (dari penduduk Madinah) untuk membangun
masjid dhirâr. [Aisarut Tafâsîr (Juz 2 / Hal.425)
Atas dasar perintah tersebut, mereka lalu
mendirikan masjid berdekatan dengan masjid Quba’. Masjid tersebut selesai
didirikan sebelum Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berangkat ke Tabuk.
Lalu mereka mendatangi beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam, meminta agar
beliau mengunjungi mereka dan shalat di masjid itu. Sebenarnya mereka bermaksud
(mengelabui kaum Muslimin) menjadikan shalat beliau ini sebagai hujjah bagi
mereka, bahwasanya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menyetujui
pembangunan masjid tersebut. Mereka menyebutkan kepada beliau alasan mendirikan
masjid itu; yaitu untuk orang-orang tua maupun yang sakit (yang tidak bisa
hadir shalat berjama’ah di masjid Quba’) pada saat malam musim dingin (akan
tetapi alasan ini tidaklah benar adanya).
Kemudian Allah Azza wa Jalla melarang
rasul-Nya agar tidak melaksanakan shalat di masjid tersebut, dengan menurunkan
ayat di atas. Penjelasannya:
“Mereka yang mendirikan masjid dhirâr adalah
sekawanan orang (munafik) dari penduduk Madinah yang jumlahnya dua belas orang.
Mereka mendirikan masjid dengan tujuan menimbulkan kemadharatan pada
orang-orang Mukmin dan masjid mereka’,[8] dan untuk menguatkan kekafiran
orang-orang munafik, serta memecah belah jama’ah kaum Mukminin. Pada awalnya
mereka semua shalat berjamaah di satu masjid (masjid Quba’), kemudian terpecah
menjadi dua masjid (di masjid Quba’ dan masjid dhirâr). Mereka ingin
mendapatkan kesempatan untuk menyebarkan syubhat, menghasut, menfitnah dan
memecah belah shaf kaum Mukminin. Juga untuk menunggu kedatangan orang yang
telah memerangi Allah Azza wa Jalla dan Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam
sejak dahulu yaitu Abu Amir ar-Râhib. Mereka sesungguhnya bersumpah dengan
mengatakan,”Kami tidak menghendaki kecuali kebaikan yaitu menunaikan shalat dan
berdzikir di dalamnya serta memberi kemudahan bagi para jama’ah.” Dan Allah
Azza wa Jalla menjadi saksi bahwa sesungguhnya mereka itu adalah pendusta
(dalam sumpahnya).
Larangan Allah Azza wa Jalla tersebut telah di
sebutkan dengan jelas di dalam ayat berikutnya, yaitu:
لَا تَقُمْ فِيهِ أَبَدًا
ۚ لَّمَسْجِدٌ أُسِّسَ عَلَى التَّقْوَىٰ مِنْ أَوَّلِ يَوْمٍ أَحَقُّ أَن تَقُومَ
فِيهِ ۚ فِيهِ رِجَالٌ يُحِبُّونَ أَن يَتَطَهَّرُوا ۚ وَاللَّهُ يُحِبُّ الْمُطَّهِّرِينَ
Janganlah kamu shalat di dalam masjid itu
selama-lamanya. Sesungguhnya masjid yang didirikan atas dasar takwa, sejak hari
pertama adalah lebih patut kamu shalat di dalamnya. Di dalamnya ada orang-orang
yang ingin membersihkan diri. Dan Allah Azza wa Jalla menyukai orang-orang yang
bersih. [at-Taubah/9:108]
Larangan Allah Azza wa Jalla ini tidaklah
khusus bagi Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam saja, akan tetapi kaum
Muslimin juga termasuk dalam larangan tersebut; sebagaimana dijelaskan oleh
Imam Ibnu Katsîr rahimahullah, “Ayat (di atas) merupakan larangan dari Allah
Azza wa Jalla kepada Rasullullah Shallallahu ‘alaihi wa salalm agar tidak
shalat di masjid tersebut selamalamanya, dan umatnya mengikutinya dalam hal
ini.”
Kemudian Allah Azza wa Jalla memerintahkan
Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk melaksanakan shalat di masjid
Quba’ yang telah didirikan atas dasar takwa sejak hari pertama. Maksudnya atas
dasar ketaatan kepada-Nya dan kepada Rasul-Nya dan juga untuk mempersatukan
ukhuwah kaum Muslimin serta sebagai markas mereka.
Dalam ayat di atas juga terdapat pujian Allah
Azza wa Jalla kepada penduduk Quba’.
Syaikh Abu Bakar al-Jazâiri hafidzahullâh
berkata, “(Di dalam ayat ini) terdapat pujian kepada penduduk Quba’ dan kabar
bahwa mereka adalah orang-orang yang menyukai bersuci dari kotoran badan maupun
hati.” Kemudian Allah Azza wa Jalla berfirman:
أَفَمَنْ أَسَّسَ بُنْيَانَهُ
عَلَىٰ تَقْوَىٰ مِنَ اللَّهِ وَرِضْوَانٍ خَيْرٌ أَم مَّنْ أَسَّسَ بُنْيَانَهُ عَلَىٰ
شَفَا جُرُفٍ هَارٍ فَانْهَارَ بِهِ فِي نَارِ جَهَنَّمَ ۗ وَاللَّهُ لَا يَهْدِي الْقَوْمَ
الظَّالِمِينَ
“Maka apakah orang-orang yang mendirikan
masjidnya di atas dasar takwa kepada Allah dan keridhaan-Nya itu yang lebih
baik, ataukah orangorang yang mendirikan bangunannya di tepi jurang yang
runtuh, lalu bangunannya itu jatuh bersamasama dengan dia ke neraka Jahannam?
Dan Allah tidaklah memberi petunjuk kepada orang-orang yang dzalim. [at-Taubah/9:109]
Istifhâm (pertanyaan) dalam ayat ini adalah
untuk taqrîr (menetapkan), (maksudnya menetapkan bahwa mereka kaum Mukminin itu
lebih baik daripada orang-orang munafik).
Maka tidaklah sama antara orang yang
mendirikan masjid atas dasar takwa kepada Allah Azza wa Jalla dan mengharap
ridha-Nya dengan orang yang mendirikan masjid atas dasar kemadharatan,
kekafiran dan memecah-belah kaum Mukminin serta untuk menunggu kedatangan orang
yang memusuhi Allah Azza wa Jalla dan Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam
sejak dahulu. Pada hakikatnya mereka mendirikan masjid di tepi jurang yang akan
runtuh, lalu tepi jurang itu menyebabkan bangunannya runtuh bersama-sama mereka
ke neraka Jahannam. Seperti halnya mereka membangunnya di tepi neraka Jahannam,
sehingga bangunan itu runtuh bersama mereka ke dalamnya. Dan Allah Azza wa
Jalla tidaklah memberi petunjuk kepada orang-orang yang dzalim sehingga mereka
merugi di dunia maupun di akhirat.
Kemudian Allah Azza wa Jalla berfirman:
لَا يَزَالُ بُنْيَانُهُمُ
الَّذِي بَنَوْا رِيبَةً فِي قُلُوبِهِمْ إِلَّا أَن تَقَطَّعَ قُلُوبُهُمْ ۗ وَاللَّهُ
عَلِيمٌ حَكِيمٌ
“Bangunan-bangunan mereka itu senantiasa
menjadi keraguan dalam hati mereka, kecuali jika hati mereka telah hancur, dan
Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana. [at-Taubah/9:110]
Syaikh as-Sa’di rahimahullah dalam menafsirkan
ayat ini mengatakan, “(Bangunan tersebut) menyebabkan keraguan itu melekat di
hati mereka, kecuali jika mereka benar-benar menyesali dan bertaubat atas
perbuatan mereka serta takut kepada Allah Azza wa Jalla. Jika demikian, maka
Allah Azza wa Jalla akan mengampuni mereka. Tetapi jika sebaliknya, maka
bangunan tersebut tidak akan menambah pada mereka, kecuali kemunafikan di atas
kemunafikan. Dan Allah Azza wa Jalla Maha Mengetahui atas segala sesuatu, baik
yang ditampakkan oleh hamba-Nya maupun yang disembunyikan. Maha Bijaksana,
tidak melakukan dan menciptakan, memerintahkan dan melarang kecuali di balik
itu semua ada hikmahnya dan bagi-Nya segala pujian.
Kemudian Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam mengutus Mâlik bin Dukhsyum saudara Bani Salim dan Ma’an bin Adi seraya
berkata kepada mereka berdua,”Pergilah kalian ke masjid yang didirikan oleh
orang-orang dzalim (masjid dhirâr), kemudian hancurkan dan bakarlah.” Maka
keduanya pun berangkat; sesampainya di perkampungan Bani Sâlim, Mâlik berkata
kepada Ma’an, “Tunggu sebentar, aku akan mengambil api dari rumah keluargaku.”
Sesaat kemudian dia keluar dengan membawa pelepah kurma yang dibakar dan
berjalan dengan Ma’an menuju masjid itu; lalu membakar dan menghancurkannya,
sehingga orang yang berada di dalamnya (berlarian) keluar.
SedangkanAbu Amir ar-Râhib; dia mati di kota
Qansarin (wilayah Romawi) akibat doa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
atasnya. [Lihat Aisarut Tafâsîr, Tafsir Ibnu ,Tafsir
Ath-thabary, Tafsir As-Sa’di, Tafsir Abu Su’ûd, Tafsir Al-Qurthubi, Tafsir
Al-Baghawi]. Baca juga Studi
Kritis Membangun Masjid Di Dekat Masjid
9.
Hak
untuk mengumumkan Romadhon dan hari raya.
Dari Ibnu ‘Umar
rodhiallohu ‘anhuma berkata: “manusia melihat hilal, maka aku mengabarkan
kepada Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam bahwa aku melihatnya, maka
beliau berpuasa, dan memerintah manusia untuk berpuasa dengannya”. (Riwayat
Abu Dawud, dan Ibnu Hibban menshohihkannya, dan Al-Hakim. Al-Albany
menshohihkannya di Al-irwa’: 908, Shohihul Musnad: 745. Lihat Bulughul Marom:
626)
Hadits Abu Hurairah
radhiallahu ‘anhu:
الصَّوْمُ يَوْمَ تَصُوْمُوْنَ,
وَالْفِطْرُ يَوْمَ تُفْطِرُوْنَ, وَاْلأَضْحَى يَوْمَ تُضَحُّوْنَ
“Shaum itu di hari kalian (umat Islam)
bershaum, (waktu) berbuka adalah pada saat kalian berbuka, dan (waktu)
berkurban/ Iedul Adha di hari kalian berkurban.”
Al-Imam Ahmad bin
Hanbal berkata: “Seseorang (hendaknya) bershaum bersama penguasa dan jamaah
(mayoritas) umat Islam, baik ketika cuaca cerah ataupun mendung.” Beliau juga
berkata: “Tangan Allah Subhanahu wa Ta’ala bersama Al-Jama’ah.” (Majmu’ Fatawa,
karya Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah juz 25, hal. 117)
Al-Imam At-Tirmidzi berkata: “Sebagian ahlul
ilmi menafsirkan hadits ini dengan ucapan (mereka): ‘Sesungguhnya shaum dan
berbukanya itu (dilaksanakan) bersama Al-Jama’ah dan mayoritas umat Islam’.”
(Tuhfatul Ahwadzi juz 2, hal. 37. Lihat Silsilah Al-Ahadits Ash-Shahihah jilid
2, hal. 443)
Al-Imam Abul Hasan As-Sindi berkata: “Yang
jelas, makna hadits ini adalah bahwasanya perkara-perkara semacam ini
(menentukan pelaksanaan shaum Ramadhan, berbuka puasa/Iedul Fithri dan Iedul
Adha, -pen.) keputusannya bukanlah di tangan individu. Tidak ada hak bagi
mereka untuk melakukannya sendiri-sendiri. Bahkan permasalahan semacam ini
dikembalikan kepada penguasa dan mayoritas umat Islam. Dalam hal ini,
setiap individu pun wajib untuk mengikuti penguasa dan mayoritas umat Islam.
Maka dari itu, jika ada seseorang yang melihat hilal (bulan sabit) namun
penguasa menolak persaksiannya, sudah sepatutnya untuk tidak dianggap
persaksian tersebut dan wajib baginya untuk mengikuti mayoritas umat Islam
dalam permasalahan itu.” (Hasyiyah ‘ala Ibni Majah, lihat Silsilah Al-Ahadits
Ash-Shahihah jilid 2, hal. 443)
Asy-Syaikh Al-Muhaddits Muhammad Nashiruddin
Al-Albani berkata: “Dan selama belum (terwujud) bersatunya negeri-negeri Islam
di atas satu mathla’ (dalam menentukan pelaksanaan shaum Ramadhan, -pen.), aku
berpendapat bahwa setiap warga negara hendaknya melaksanakan shaum Ramadhan
bersama negaranya (pemerintahnya) masing-masing dan tidak bercerai-berai dalam
perkara ini, yakni shaum bersama pemerintah dan sebagian lainnya shaum bersama
negara lain, baik mendahului pemerintahnya atau pun belakangan. Karena yang
demikian itu dapat mempertajam perselisihan di tengah masyarakat muslim
sendiri. Sebagaimana yang terjadi di sebagian negara Arab sejak beberapa tahun
yang lalu. Wallahul Musta’an.” (Tamamul Minnah hal. 398)
Beliau juga berkata: “Inilah yang sesuai
dengan syariat (Islam) yang toleran, yang di antara misinya adalah
mempersatukan umat manusia, menyatukan barisan mereka serta menjauhkan mereka
dari segala pendapat pribadi yang memicu perpecahan. Syariat ini tidak mengakui
pendapat pribadi –meski menurut yang bersangkutan benar– dalam ibadah yang
bersifat kebersamaan seperti; shaum, Ied, dan shalat berjamaah. Tidakkah engkau
melihat bahwa sebagian shahabat radhiallahu ‘anhum shalat bermakmum di belakang
shahabat lainnya, padahal sebagian mereka ada yang berpendapat bahwa menyentuh
wanita, menyentuh kemaluan, dan keluarnya darah dari tubuh termasuk pembatal
wudhu, sementara yang lainnya tidak berpendapat demikian?! Sebagian mereka ada
yang shalat secara sempurna (4 rakaat) dalam safar dan di antara mereka pula
ada yang mengqasharnya (2 rakaat). Namun perbedaan itu tidaklah menghalangi
mereka untuk melakukan shalat berjamaah di belakang seorang imam (walaupun
berbeda pendapat dengannya, -pen.) dan tetap berkeyakinan bahwa shalat tersebut
sah. Hal itu karena adanya pengetahuan mereka bahwa bercerai-berai dalam urusan
agama lebih buruk daripada sekedar berbeda pendapat. Bahkan sebagian mereka
mendahulukan pendapat penguasa daripada pendapat pribadinya pada momen
berkumpulnya manusia seperti di Mina. Hal itu semata-mata untuk menghindari
kesudahan buruk (terjadinya perpecahan) bila dia tetap mempertahankan pendapatnya.
Sebagaimana diriwayatkan oleh Al-Imam Abu Dawud (1/307), bahwasanya Khalifah
‘Utsman bin ‘Affan radhiallahu ‘anhu shalat di Mina 4 rakaat (Zhuhur, ‘Ashar,
dan Isya’ -pen). Maka shahabat Abdullah bin Mas’ud radhiallahu ‘anhu
mengingkarinya seraya berkata: “Aku telah shalat (di Mina/hari-hari haji,
-pen.) bersama Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, Abu Bakr, ‘Umar dan di awal
pemerintahan ‘Utsman 2 rakaat, dan setelah itu ‘Utsman shalat 4 rakaat.
Kemudian terjadilah perbedaan di antara kalian (sebagian shalat 4 rakaat dan
sebagian lagi 2 rakaat, -pen.), dan harapanku dari 4 rakaat shalat itu yang
diterima adalah yang 2 rakaat darinya.”
Namun ketika di Mina, shahabat Abdullah bin
Mas’ud justru shalat 4 rakaat. Maka dikatakanlah kepada beliau: “Engkau telah
mengingkari ‘Utsman atas shalatnya yang 4 rakaat, (mengapa) kemudian engkau
shalat 4 rakaat pula?!” Abdullah bin Mas’ud berkata: “Perselisihan itu jelek.”
Sanadnya shahih. (Diriwayatkan pula oleh Al-Imam Ahmad (5/155) seperti
riwayat di atas dari shahabat Abu Dzar radhiallahu ‘anhu.)
Maka dari itu, hendaknya hadits dan atsar ini
benar-benar dijadikan bahan renungan oleh orang-orang yang (hobi, -pen.)
berpecah-belah dalam urusan shalat mereka serta tidak mau bermakmum kepada
sebagian imam masjid, khususnya shalat witir di bulan Ramadhan dengan dalih
beda madzhab. Demikian pula orang-orang yang bershaum dan berbuka sendiri, baik
mendahului mayoritas kaum muslimin atau pun mengakhirkannya dengan dalih
mengerti ilmu falaq, tanpa peduli harus berseberangan dengan mayoritas kaum
muslimin. Hendaknya mereka semua mau merenungkan ilmu yang telah kami sampaikan
ini. Dan semoga ini bisa menjadi obat bagi kebodohan dan kesombongan yang ada
pada diri mereka. Dengan harapan agar mereka selalu dalam satu barisan bersama
saudara-saudara mereka kaum muslimin, karena tangan Allah Subhanahu wa Ta’ala
bersama Al-Jama’ah.” (Silsilah Al-Ahadits Ash-Shahihah jilid 2, hal. 444-445)
Asy-Syaikh Al-Allamah Abdul Aziz bin Baz
rahimahullahu pernah ditanya: “Jika awal masuknya bulan Ramadhan telah
diumumkan di salah satu negeri Islam semisal kerajaan Saudi Arabia, namun di
negeri kami belum diumumkan, bagaimanakah hukumnya? Apakah kami bershaum
bersama kerajaan Saudi Arabia ataukah bershaum dan berbuka bersama penduduk
negeri kami, manakala ada pengumuman? Demikian pula halnya dengan masuknya
Iedul Fithri, apa yang harus kami lakukan bila terjadi perbedaan antara negeri
kami dengan negeri yang lainnya? Semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala membalas
engkau dengan kebaikan.”
Beliau menjawab: “Setiap muslim hendaknya bershaum
dan berbuka bersama (pemerintah) negerinya masing-masing. Hal itu berdasarkan
sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam:
الصَّوْمُ يَوْمَ تَصُوْمُوْنَ، وَالْفِطْرُ يَوْمَ تُفْطِرُوْنَ، وَاْلأَضْحَى
يَوْمَ تُضَحُّوْنَ
“Waktu shaum itu di hari kalian (umat Islam) bershaum,
(waktu) berbuka adalah pada saat kalian berbuka, dan (waktu) berkurban/Iedul
Adha di hari kalian berkurban.”
Wabillahit taufiq. (Lihat Fatawa Ramadhan hal.
112)
Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin
rahimahullahu ditanya: “Umat Islam di luar dunia Islam sering berselisih dalam
menyikapi berbagai macam permasalahan seperti (penentuan) masuk dan keluarnya
bulan Ramadhan, serta saling berebut jabatan di bidang dakwah. Fenomena ini
terjadi setiap tahun. Hanya saja tingkat ketajamannya berbeda-beda tiap
tahunnya. Penyebab utamanya adalah minimnya ilmu agama, mengikuti hawa nafsu
dan terkadang fanatisme madzhab atau partai, tanpa mempedulikan rambu-rambu
syariat Islam dan bimbingan para ulama yang kesohor akan ilmu dan wara’-nya. Maka,
adakah sebuah nasehat yang kiranya bermanfaat dan dapat mencegah (terjadinya)
sekian kejelekan? Semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala memberikan taufiq dan
penjagaan-Nya kepada engkau.”
Beliau berkata: “Umat Islam wajib bersatu dan
tidak boleh berpecah-belah dalam beragama. Sebagaimana firman Allah Subhanahu
wa Ta’ala:
شَرَعَ لَكُمْ مِنَ الدِّيْنِ مَا وَصَّى بِهِ نُوْحًا وَالَّذِي أَوْحَيْنَا
إِلَيْكَ وَمَا وَصَّيْنَا بِهِ إِبْرَاهِيْمَ وَمُوْسَى وَعِيْسَى أَنْ أَقِيْمُوا
الدِّيْنَ وَلاَ تَتَفَرَّقُوا فِيْهِ
“Dia telah mensyariatkan bagi kalian tentang agama, apa
yang telah diwasiatkan-Nya kepada Nuh dan apa yang telah Kami wasiatkan
kepadamu, Ibrahim, Musa, dan Isa, yaitu:’ Tegakkanlah agama dan janganlah
kalian berpecah-belah tentangnya’.” (Asy-Syura: 13)
وَاعْتَصِمُوا بِحَبْلِ اللهِ جَمِيْعًا وَلاَ تَفَرَّقُوا
“Dan berpegang-teguhlah kalian semua dengan tali (agama)
Allah, dan janganlah kalian bercerai-berai.” (Ali ‘Imran: 103)
وَلاَ تَكُوْنُوا كَالَّذِيْنَ تَفَرَّقُوا وَاخْتَلَفُوا مِنْ بَعْدِ مَا
جَاءَهُمُ الْبَيِّنَاتُ وَأُوْلَئِكَ لَهُمْ عَذَابٌ عَظِيْمٌ
“Dan janganlah kalian seperti orang-orang yang
berpecah-belah dan berselisih setelah keterangan datang kepada mereka, dan bagi
mereka adzab yang pedih.” (Ali ‘Imran: 105)
Sehingga umat Islam wajib untuk menjadi umat
yang satu dan tidak berpecah-belah dalam beragama. Hendaknya waktu shaum dan
berbuka mereka satu, dengan mengikuti keputusan lembaga/departemen yang
menangani urusan umat Islam dan tidak bercerai-berai (dalam masalah ini), walaupun
harus lebih tertinggal dari shaum kerajaan Saudi Arabia atau negeri Islam
lainnya.” (Fatawa Fi Ahkamish Shiyam, hal. 51-52)
Fatwa Al-Lajnah Ad-Da`imah Lil-Buhuts
Al-‘Ilmiyyah wal-Ifta`: “…Dan tidak mengapa bagi penduduk negeri manapun, jika
tidak melihat hilal (bulan tsabit) di tempat tinggalnya pada malam ke-30, untuk
mengambil hasil ru`yatul hilal dari tempat lain di negerinya. Jika umat Islam
di negeri tersebut berbeda pendapat dalam hal penentuannya, maka yang harus
diikuti adalah keputusan penguasa di negeri tersebut bila ia seorang muslim,
karena (dengan mengikuti) keputusannya akan sirnalah perbedaan pendapat itu.
Dan jika si penguasa bukan seorang muslim, maka hendaknya mengikuti keputusan
majelis/departemen pusat yang membidangi urusan umat Islam di negeri tersebut.
Hal ini semata-mata untuk menjaga kebersamaan umat Islam dalam menjalankan
shaum Ramadhan dan shalat Id di negeri mereka. Wabillahit taufiq, washallallahu
‘ala Nabiyyina Muhammad wa alihi wa shahbihi wasallam.”
Pemberi fatwa: Asy-Syaikh Abdur Razzaq ‘Afifi,
Asy-Syaikh Abdullah bin Ghudayyan, dan Asy-Syaikh Abdullah bin Mani’. (Lihat
Fatawa Ramadhan hal. 117)
10. Hak untuk dinasehati secara langsung dan rahasia.
Dalam hadits
Rasulullah Shollallohu ‘alaihi wa sallam bersabda:
مَنْ أَرَادَ أَنْ يَنْصَحَ
لِذِيْ سُلْطَانٍ فَلاَ يُبْدِهِ عَلاِنِيَةً وَلَكِنْ لِيَأْخُذْ بِيَدِهِ فَيَخْلُوْ
بِهِ فَإِنْ قَبِلَ مِنْهُ فَذَاكَ وَإِلاَّ كَانَ قَدْ أَدَّى الَّذِيْ عَلَيْهِ
“Barang siapa ingin menasihati seorang
penguasa maka jangan ia tampakkan terang-terangan, akan tetapi hendaknya ia
mengambil tangan penguasa tersebut dan menyendiri dengannya. Jika dengan itu, ia
menerima (nasihat) darinya maka itulah (yang diinginkan, red.) dan jika tidak
menerima maka ia (yang menasihati) telah melaksanakan kewajibannya.” (Sahih,
HR. Ahmad, Ibnu Abu ‘Ashim dan yang lain, disahihkan oleh asy-Syaikh al-Albani
dalam Zhilalul Jannah, no. 1096—1098, lihat pula takhrijnya dalam kitab
Mu’amalatul Hukkam, hlm. 143—151)
Ketika membawakan hadits di atas, al-Imam
Ahmad rohimahulloh menyebutkan sebuah kisah. Kata beliau, seorang sahabat Nabi Shollallohu
‘alaihi wa sallam bernama ‘Iyadh bin Ghunm rodhiallohu ‘anhu yang menjadi
penguasa di wilayah Syam (Siyar A’lamin Nubala, 2/354) mencambuk seorang
pemilik rumah ketika rumah itu dibuka (karena masalah kharaj [semacam pajak],
wallahu a’lam, red.). Maka seorang sahabat yang lain yaitu Hisyam bin Hakim rodhiallohu
‘anhu lewat dan menasihati dengan begitu keras kepadanya sehingga ‘Iyadh pun
marah. Berlalulah beberapa malam. Lalu Hisyam datang dan beralasan seraya
mengatakan kepada ‘Iyadh, “Tidakkah engkau mendengar Nabi Shollallohu ‘alaihi
wa sallam mengatakan, ‘Sesungguhnya manusia yang termasuk paling keras azabnya
adalah yang paling keras menyiksa manusia di dunia’.”
Maka ‘Iyadh pun menjawab, “Wahai Hisyam bin
Hakim, kami telah mendengar apa yang engkau dengar dan telah melihat apa yang
kamu lihat. Apakah kamu tidak mendengar Rasulullah Shollallohu ‘alaihi wa
sallam bersabda, … (lalu menyebut hadits di atas). Sesungguhnya engkau wahai
Hisyam, benar-benar nekat jika engkau berani terhadap penguasa Allah ta’ala.
Tidakkah engkau takut untuk dibunuh oleh penguasa Allah ta’ala sehingga engkau
menjadi korban pembunuhan penguasa Allah ta’ala?!”
Dalam kisah yang berlangsung antara dua orang
sahabat Nabi yang mulia itu terkandung bantahan yang sangat telak bagi orang
yang berdalil dengan perbuatan Hisyam bin Hakim rodhiallhu ‘anhu yang
mengingkari penguasa dengan terang-terangan atau berdalil dengan sahabat lain,
di mana sahabat ‘Iyadh mengingkari perbuatan itu atas mereka lalu menyebutkan
dalil yang menjadi pemutus dalam masalah ini, maka tiadalah bagi Hisyam kecuali
menerima dalil itu yang sangat jelas maksudnya. Dan hujjah itu adalah hadits
Nabi Shollallohu ‘alaihi wa sallam, bukan ucapan siapa pun dari kalangan
manusia. (Mu’amalatul Hukkam, hlm. 151—152)
Syaikhul Islam Ibnu
Taimiyah rahimahullah berkata, “Sudah seharusnya cara anda beramar ma’ruf
adalah dengan cara yang ma’ruf, demikian pula cara anda dalam melarang
kemungkaran adalah bukan berupa kemungkaran.” (lihat al-Amru bil Ma’ruf wa
an-Nahyu ‘anil Munkar, hal. 24)
Sufyan ats-Tsauri
rahimahullah berkata, “Tidaklah memerintah kepada yang ma’ruf dan melarang dari
yang mungkar kecuali orang yang padanya terdapat tiga ciri ini: lemah lembut
dalam memerintah dan lemah lembut dalam melarang, bersikap adil dalam
memerintah dan adil dalam melarang, serta mengetahui apa yang diperintahkan dan
mengetahui apa yang dilarang.” (lihat al-Amru bil Ma’ruf wa an-Nahyu ‘anil
Munkar, hal. 52 ta’liq Syaikh Ruslan)
Dari ‘Iyadh bin bin
Ghunm radhiyallahu’anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Barangsiapa yang ingin menasehati penguasa maka janganlah dia menampak hal itu
secara terang-terangan/di muka umum, akan tetapi hendaknya dia memegang
tangannya seraya menyendiri bersamanya -lalu menasehatinya secara sembunyi-.
Apabila dia menerima nasehatnya maka itulah -yang diharapkan-, dan apabila dia
tidak mau maka sesungguhnya dia telah menunaikan kewajiban dirinya.” (HR.
Ahmad dan Ibnu Abi ‘Ashim dengan sanad sahih)
Dari Tamim bin Aus
ad-Dari radhiyallahu’anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Agama ini adalah nasehat.” Beliau mengucapkannya tiga kali. Maka kami
bertanya, “Untuk siapa wahai Rasulullah?”. Beliau menjawab, “Untuk
mengikhlaskan ibadah kepada Allah ‘azza wa jalla, beriman kepada Kitab-Nya,
taat kepada Rasul-Nya, memberikan nasehat kepada para pemimpin kaum muslimin
serta nasehat bagi orang-orang biasa (rakyat) diantara mereka.” (HR. Muslim)
Imam Ibnu
ash-Sholah rahimahullah berkata, “Nasehat bagi para pemimpin kaum muslimin
adalah dengan membantu mereka dalam kebenaran, mentaati mereka di dalamnya,
mengingatkan mereka terhadap kebenaran, memberikan peringatan kepada mereka
dengan lembut, menjauhi pemberontakan kepada mereka, mendoakan taufik bagi
mereka, dan mendorong orang lain (masyarakat) untuk juga bersikap demikian.”
(lihat Jami’ al-’Ulum wa al-Hikam, hal. 103)
Imam al-Barbahari
rahimahullah berkata, “Apabila kamu melihat seseorang yang mendoakan keburukan
bagi penguasa maka ketahuilah bahwa dia adalah seorang pengekor hawa nafsu. Dan
apabila kamu mendengar seseorang yang mendoakan kebaikan untuk penguasa, maka
ketahuilah bahwa dia adalah seorang pembela Sunnah, insya Allah.” (lihat
Qa’idah Mukhtasharah, hal. 13)
Imam an-Nawawi
rahimahullah menerangkan, “Nasehat bagi para pemimpin kaum muslimin adalah
dengan membantu mereka dalam kebenaran, mentaati mereka di dalamnya,
memerintahkan mereka untuk menjalankan kebenaran, memberikan peringatan dan
nasehat kepada mereka dengan lemah lembut dan halus, memberitahukan kepada
mereka hal-hal yang mereka lalaikan, menyampaikan kepada mereka hak-hak kaum
muslimin yang belum tersampaikan kepada mereka, tidak memberontak kepada
mereka, dan menyatukan hati umat manusia (rakyat) supaya tetap mematuhi
mereka.” (lihat Syarh Muslim lil Imam an-Nawawi [2/117], lihat juga penjelasan
serupa oleh Imam Ibnu Daqiq al-’Ied rahimahullah dalam Syarh al-Arba’in, hal.
33-34)
Ibnu Abbas
radhiyallahu’anhuma pernah ditanya tentang cara beramar ma’ruf dan nahi mungkar
kepada penguasa, beliau menjawab, “Apabila kamu memang mampu melakukannya,
cukup antara kamu dan dia saja.” (lihat Jami’ al-’Ulum wa al-Hikam, hal. 105)
Dari Abu Wa’il
Syaqiq bin Salamah, dia berkata: Ada orang yang bertanya kepada Usamah
radhiyallahu’anhu, “Mengapa kamu tidak bertemu dengan ‘Utsman untuk berbicara
(memberikan nasehat) kepadanya?”. Beliau menjawab, “Apakah menurut kalian aku
tidak berbicara kepadanya kecuali harus aku perdengarkan kepada kalian? Demi
Allah! Sungguh aku telah berbicara empat mata antara aku dan dia saja. Karena
aku tidak ingin menjadi orang pertama yang membuka pintu fitnah.” (R.
Bukhari dan Muslim)
Syaikh Abdul ‘Aziz
bin Baz rahimahullah menjelaskan, “Bukanlah termasuk manhaj salaf membeberkan
aib-aib pemerintah dan menyebut-nyebut hal itu di atas mimbar. Karena hal itu
akan mengantarkan kepada kekacauan [di tengah masyarakat] sehingga tidak ada
lagi sikap mendengar dan taat dalam perkara yang ma’ruf, dan menjerumuskan
kepada pembicaraan yang membahayakan serta tidak bermanfaat. Akan tetapi cara
yang harus diikuti menurut salaf adalah dengan menasehatinya secara langsung
antara dirinya dengan penguasa tersebut. Atau mengirim surat kepadanya. Atau
berhubungan dengannya melalui para ulama yang memiliki hubungan dengannya,
sehingga dia bisa diarahkan menuju kebaikan.” (lihat Da’aa’im Minhaj Nubuwwah,
hal. 271)
·
Bersabar Menghadapi
Kezaliman Penguasa
Dari Abdullah bin
Umar radhiyallahu’anhuma, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Wajib
atas setiap individu muslim untuk selalu mendengar dan patuh dalam apa yang dia
sukai ataupun yang tidak disukainya, kecuali apabila dia diperintahkan untuk
melakukan maksiat. Maka apabila dia diperintahkan untuk melakukan maksiat maka
tidak boleh mendengar dan tidak boleh patuh.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Al-Hafizh Ibnu
Hajar rahimahullah menyebutkan hadits dari Ibnu Umar radhiyallahu’anhuma yang diriwayatkan
oleh Ahmad dan ath-Thabrani bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda, “Bukankah kalian telah mengetahui bahwa barangsiapa yang menaatiku
maka sesungguhnya dia telah menaati Allah. Dan termasuk dalam ketaatan kepada
Allah ialah dengan menaatiku?” Para sahabat menjawab, “Benar, kami
mempersaksikannya.” Lalu beliau bersabda, “Sesungguhnya termasuk bentuk
ketaatan kepadaku adalah kalian taat kepada para penguasa kalian.” dalam lafal
yang lain berbunyi, “para pemimpin kalian.” Kemudian al-Hafizh berkata, “Di
dalam hadits ini terkandung kewajiban untuk taat kepada para penguasa -kaum
muslimin- selama hal itu bukan perintah untuk bermaksiat sebagaimana sudah
diterangkan di depan pada awal-awal Kitab al-Fitan. Hikmah di balik perintah
taat kepada mereka adalah demi memelihara kesatuan kalimat [stabilitas
masyarakat] karena terjadinya perpecahan akan menimbulkan kerusakan/kekacauan
urusan.” (lihat Fath al-Bari [13/131] cet. Dar al-Hadits)
Dari Hudzaifah bin
al-Yaman radhiyallahu’anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Akan ada para pemimpin/penguasa setelahku yang mengikuti petunjuk bukan dengan
petunjukku dan menjalankan Sunnah/ajaran namun bukan Sunnahku. Dan akan ada di
antara mereka orang-orang yang memiliki hati seperti hati setan yang bersemayam
di dalam raga manusia.” Hudzaifah pun bertanya, “Wahai Rasulullah, apa yang
harus kulakukan jika aku menjumpainya?” Beliau menjawab, “Kamu harus tetap
mendengar dan taat kepada pemimpin itu, walaupun punggungmu harus dipukul dan
hartamu diambil. Tetaplah mendengar dan taat.” (HR. Muslim)
Dari Abu Hurairah
radhiyallahu’anhu Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Wajib atasmu
untuk mendengar dan taat, dalam kondisi susah maupun mudah, dalam keadaan
semangat atau dalam keadaan tidak menyenangkan, bahkan ketika mereka [pemimpin]
lebih mengutamakan kepentingan diri mereka di atas kepentinganmu.” (HR.
Muslim)
Dari Ummu Salamah
radhiyallahu’anha, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Akan
muncul para penguasa yang kalian mengenali mereka namun kalian mengingkari
-kekeliruan mereka-. Barangsiapa yang mengetahuinya maka dia harus berlepas
diri -dengan hatinya- dari kemungkaran itu. Dan barangsiapa yang mengingkarinya
-dengan hatinya, pent- maka dia akan selamat. Akan tetapi yang berdosa adalah
orang yang meridhainya dan tetap menuruti kekeliruannya.” Mereka [para sahabat]
bertanya, “Apakah tidak sebaiknya kami memerangi mereka?” Beliau menjawab,
“Jangan, selama mereka masih menjalankan sholat.” (HR. Muslim)
Imam an-Nawawi
rahimahullah mengatakan, “Di dalam hadits ini terkandung dalil yang menunjukkan
bahwa orang yang tidak mampu melenyapkan kemungkaran tidak berdosa semata-mata
karena dia tinggal diam, akan tetapi yang berdosa adalah apabila dia meridhai
kemungkaran itu atau tidak membencinya dengan hatinya, atau dia justru
mengikuti kemungkarannya.” (lihat Syarh Muslim [6/485])
Syaikhul Islam Abu
Utsman ash-Shabuni rahimahullah berkata, “As-habul hadits [Ahlus Sunnah]
berpandangan untuk tetap mengikuti setiap pemimpin muslim dalam mendirikan
sholat Jum’at, sholat dua hari raya, ataupun sholat-sholat yang lainnya. Entah
dia seorang pemimpin yang baik ataupun yang buruk. Mereka juga memandang
kewajiban untuk berjihad melawan orang-orang kafir bersama mereka. Meskipun
mereka itu zalim dan suka bermaksiat. Mereka juga memandang semestinya rakyat
mendoakan perbaikan keadaan, taufik/hidayah serta kebaikan untuk mereka
[penguasa] dan supaya mereka bisa meratakan keadilan di tengah rakyat. Mereka
juga memandang tidak bolehnya memberontak dengan pedang kepada mereka
[penguasa]…” (lihat ‘Aqidah Salaf As-habul Hadits, hal. 100 tahqiq Abul Yamin
al-Manshuri cet. Dar al-Minhaj)
Di masa seorang
pemimpin yang kejam dan bengis al-Hajjaj berkuasa, Hasan al-Bashri memberikan
nasehat kepada kaum muslimin, “Wahai umat manusia! Demi Allah, tidaklah
al-Hajjaj dijadikan Allah berkuasa atas kalian kecuali sebagai bentuk hukuman
[atas dosa-dosa kita]. Maka janganlah kalian menghadapi [ketetapan] Allah ini
dengan pedang (memberontak). Akan tetapi wajib atas kalian untuk menghadapinya
dengan sikap tenang dan penuh ketundukan.” (lihat Da’aa’im Minhaj Nubuwwah,
hal. 275)
Ibnul Qayyim
rahimahullah berkata, “Dan perhatikanlah hikmah yang Allah ta’ala simpan di
balik mengapa Allah menjadikan para raja, pemimpin, dan penguasa bagi manusia
orang-orang yang serupa [buruknya] dengan perbuatan mereka (rakyat). Bahkan,
seolah-olah amal perbuatan mereka itu terekspresikan di dalam sosok para
penguasa dan raja-raja mereka. Apabila rakyat itu baik niscaya baik pula
raja-raja mereka. Apabila mereka (rakyat) menegakkan keadilan niscaya para
penguasa itu menerapkan keadilan atas mereka. Dan apabila mereka berbuat aniaya
(tidak adil) maka raja dan penguasa mereka pun akan bertindak aniaya kepada
mereka. Apabila di tengah-tengah mereka merebak makar (kecurangan) dan tipu
daya, maka demikian pula pemimpin mereka. Apabila mereka tidak menunaikan
hak-hak Allah dan pelit dengannya, demikian pula para penguasa mereka akan
menghalangi hak-hak rakyat yang semestinya ditunaikan kepada mereka…” (dinukil
dari Da’aa’im Minhaj Nubuwwah, hal. 258 oleh Syaikh Muhammad Sa’id Ruslan)
Oleh sebab itu,
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah menegaskan, “Bersabar dalam
menghadapi ketidakadilan penguasa adalah salah satu prinsip pokok yang dianut
oleh Ahlus Sunnah wal Jama’ah.” (lihat Da’aa’im Minhaj Nubuwwah, hal. 280)
Hasan al-Bashri
mengatakan, “Demi Allah! Tidaklah tegak urusan agama ini kecuali dengan adanya
pemerintah, walaupun mereka berbuat aniaya dan bertindak zalim. Demi Allah!
Apa-apa yang Allah perbaiki dengan sebab keberadaan mereka itu jauh lebih
banyak daripada apa-apa yang mereka rusak.” (lihat Da’aa’im Minhaj Nubuwwah,
hal. 279)
Imam Ibnul Qayyim
rahimahullah berkata, “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mensyari’atkan bagi
umatnya kewajiban mengingkari kemungkaran yang dengan tindakan pengingkaran itu
diharapkan tercapai suatu perkara ma’ruf/kebaikan yang dicintai oleh Allah dan
rasul-Nya. Apabila suatu bentuk pengingkaran terhadap kemungkaran justru
menimbulkan perkara yang lebih mungkar dan lebih dibenci oleh Allah dan
rasul-Nya maka tidak boleh melakukan tindak pengingkaran terhadapnya, meskipun
Allah dan rasul-Nya memang membencinya dan murka kepada pelakunya. Contohnya
adalah mengingkari penguasa dan pemimpin dengan cara melakukan pemberontakan kepada
mereka. Sesungguhnya hal itu merupakan sumber segala keburukan dan terjadinya
fitnah hingga akhir masa. Barangsiapa yang memperhatikan musibah yang menimpa
umat Islam berupa fitnah yang besar maupun yang kecil maka dia akan bisa
melihat bahwasanya hal itu timbul akibat menyia-nyiakan prinsip ini dan karena
ketidaksabaran dalam menghadapi kemungkaran sehingga orang pun nekat untuk
menuntut dilenyapkannya hal itu, namun yang terjadi justru memunculkan musibah
yang lebih besar daripada -kemungkaran- itu.” (lihat ta’liq Syaikh Ruslan dalam
al-Amru bil Ma’ruf wa an-Nahyu ‘anil Munkar, hal. 25)
Pemberontakan tidak
hanya dengan senjata, bahkan ia bermula dari ucapan lisan. Syaikh Shalih bin
Fauzan al-Fauzan berkata, “Memberontak kepada para pemimpin terjadi dalam
bentuk mengangkat senjata, dan ini adalah bentuk pemberontakan yang paling
parah. Selain itu, pemberontakan juga terjadi dengan ucapan; yaitu dengan
mencaci dan mencemooh mereka, mendiskreditkan mereka dalam berbagai pertemuan,
dan mengkritik mereka melalui mimbar-mimbar. Hal ini akan menyulut keresahan
masyarakat dan menggiring mereka menuju pemberontakan terhadap penguasa. Hal
itu jelas merendahkan kedudukan pemerintah di mata rakyat. Ini artinya,
pemberontakan juga bisa terjadi dalam bentuk ucapan/provokasi.” (lihat Da’aa’im
Minhaj Nubuwwah, hal. 272)
11. Hak untuk tidak
diturunkan/diganti dari kekuasaannya selama masih menegakkan sholat.
Di riwayatkan
shahabat Ubadah bin Shamit rodhiallohu ‘anhu ia berkata; “kami berbait kepada
rosulullah shollallohu ‘alaihi wa sallam dalam keadaan lapang maupun sempit, suka
ataupun tidak, dalam keadaan mereka mementingkan diri mereka dari pada kami. dan
agar kami tidak memberontak (mengambil paksa kepemimpinan) dari pemiliknya. ’kemudian
rasulullah shollallohu ‘alaihi wa sallam bersabda:”kecuali kalian melihat
kekafiran yg nyata , yg kalian memiliki bukti yg nyata dari ALLAH.” (HR. Bukhory
dan Muslim). Dan dalam hadits lainnya di katakan: ”selama mereka
(pemerintahan/pemimpin) masih mendirikan sholat”.
Wallohu a’lam, walhamdulillaahi
robbil’aalamiin
Selesai
Ahad 4 Syawal 1434, Makassar
Al
faqiir ilallooh Sa’iid Abu Ibrohim Al Makasary
Komentar
Posting Komentar
Bismillaah, silahkan komentar...